Keterangan: Artikel ini ditulis oleh Aqib Farooq Mir, warga Khasmir yang diduduki oleh India.
Aqib menikah dengan Afiqah, perempuan asal Aceh Utara yang saat ini sedang menyelesaikan program doktor (Phd).
Aqib mengatakan dirinya suka membaca tentang sejarah Islam dan dia tertarik dengan sejarah Aceh yang sangat kaya dan menarik.
“Saya baru saja selesai membaca harga kebebasan oleh Hassan Tiro. Aceh adalah tempat yang sangat indah dengan hutan perawan dan pantai yang belum dijelajahi,” kata Aqib menjawab Serambinews.com via WhatsApp, Senin (4/11/2019) malam.
• India Cabut Status Otonomi Khusus Khasmir, Berlaku Mulai 31 Oktober 2019, Apa Perubahannya?
• Muslim Khasmir Protes Larangan Jual Beli Daging Sapi
Berikut artikel Aqib Farooq Mir yang dikirimkan kepada Serambinews.com.
Hubungan Aceh dan Turki
"Orang-orang tanpa pengetahuan tentang sejarah masa lalu, asal-usul dan budaya mereka seperti pohon tanpa akar." Garcus Garvey.
Hari ini, saya akan menjelaskan hubungan antara Turki dan Aceh.
Terlepas dari perbedaan geografis, Aceh adalah sekutu dekat Turki.
Ada hubungan sosial, politik dan ekonomi antara Turki dan Aceh.
Hubungan ini terjadi terutama pada abad ke 16 dan 17.
Aceh terkenal dengan sikap kerasnya terhadap dominasi asing.
Secara turun temurun, Sultan Aceh menjadi lawan tetap bagi Belanda, Inggris, dan Prancis.
Orang-orang Barat diberitahu, bahwa meskipun mereka dipersilakan untuk berdagang, tetapi mereka tidak diizinkan membangun benteng di Aceh.
Kala itu, Aceh adalah pusat produksi rempah-rempah berharga seperti lada, cengkeh, pala, dan wilayah yang bagus untuk berwirausaha.
Aceh juga memainkan peran penting dalam pengembangan dan penyebaran Islam ke seluruh Kepulauan Melayu.
• Soal Makam Kuno di Belantara Aceh Besar, Boleh Jadi Pusara Pendiri Kesultanan Aceh Darusalam
• VIDEO - Prosesi Pemakaman Pewaris Kesultanan Aceh, Teungku Putro Safiatuddin Cahya Nur Alam
Ekspedisi Ottoman ke Aceh dimulai dari 1565, ketika Kesultanan Ottoman mencoba untuk mendukung kesultanan Aceh dalam perjuangannya melawan Belanda.
Ekspedisi ini sebagai tindak lanjut atas kedatangan utusan yang dikirim oleh sultan Aceh (Alauddin Riayat Syah al-Kahhar) ke sultan Ottoman (Suleiman the Magnificent) pada 1564.
Utusan itu dikirim untuk meminta dukungan Ottoman kepada Aceh yang sedang berperang dengan Belanda.
Ketika seluruh Timur Tengah berada di bawah kendali kekuasaan Ottoman, kerajaan ini dianggap sebagai tempat suci Islam di Arab.
Sultan Utsmaniyah melihat diri mereka pelindung seluruh dunia Muslim.
Dalam suratnya, Sultan Ali Riayat Syah dari Aceh menyebut penguasa Ottoman sebagai Khalifah Islam.
Hubungan antara Kekaisaran Ottoman dan Kesultanan Aceh tidak terbatas pada kerja sama militer.
Tapi juga untuk mendukung penyebaran dan penerapan ajaran Islam di wilayah kesultanan Aceh.
Banyak sarjana Islam dari Mesir, Yaman, dan Gujarat datang ke Aceh untuk mengajar Islam.
Sultan Aceh menyambut hangat semua cendekiawan Islam.
Sekolah-sekolah Islam berkembang di seluruh pelosok kesultanan Aceh.
Bahasa Arab menjadi tersebar luas di kalangan elit Aceh.
Perlahan, bahasa Arab menjadi bahasa resmi Kesultanan.
Aceh menjadi pusat utama pembelajaran Islam.
Pada abad ke 16 dan 17, Aceh menjadi rumah bagi banyak sarjana, seperti Bukhara al-Jauhari, Syekh Nuruddin al Raniri dan, Abdul Rauf As-Singkili.
Ketika Suleiman yang Agung meninggal pada tahun 1566, putranya Selim II mengirim lebih banyak kapal yang dilengkapi dengan meriam, senjata api, dan insinyur.
Turut pula dikirim persediaan senjata dan amunisi yang berlimpah.
Orang Aceh membayar pengiriman itu dengan mutiara, berlian, dan rubi.
Pada 1568, sultan Aceh mengepung dan menghancurkan Portugis di Melaka.
Meskipun, Ottoman tidak berpartisipasi secara langsung dalam perang itu, tapi Sultan Ottoman memasok meriam dan persenjataan kepada Sultan Aceh.
Para prajurit Ottoman juga mengajari orang Aceh cara menempa meriam mereka sendiri.
Hasilnya, kerajinan membuat senjata semacam itu telah menyebar ke seluruh Asia Tenggara.
• Biografi Tokoh Dunia - Mehmed II Sang Penakluk Konstantinopel, Sultan Ottoman Turki
• Berat Kubah Masjid Peninggalan Ottoman 2.000 Ton
• Ulu Camii, Masjid Terkenal dari Kesultanan Ottoman
Portugis Musuh Besar Sultan Aceh
Hubungan antara Aceh dengan Kekaisaran Ottoman merupakan ancaman besar bagi posisi perdagangan monopolistik Portugis di Samudra Hindia.
Aceh adalah kota kosmopolitan dan pusat komersial di Samudera Hindia.
Kesultanan Aceh menjadi musuh komersial utama bagi Portugis.
Mereka berupaya menyabotase poros perdagangan Aceh-Ottoman-Venesia untuk keuntungan mereka sendiri.
Tetapi Portugis gagal total, karena kurangnya kekuatan mereka di Samudra Hindia.
Kenangan hubungan Utsmani-Aceh pada abad ke-16 tetap hidup selama berabad-abad dalam bentuk bendera Aceh yang mirip dengan bendera Utsmaniyah.
Bintang bulan di atas bahan dasar merah.
Pada abad ke-17 penulis Turki “Katip Chelebi” menyebutkan dalam buku geografinya bernama “Cihannuma” (Terrace Of The World World) bahwa orang Aceh adalah pejuang yang baik, dan mereka belajar seni perang dari orang Turki.
Mereka dapat menggunakan panah dan busur dan membuat meriam yang mirip dengan orang Turki.
Menurut sumber-sumber Turki, duta besar Aceh pertama untuk Istanbul datang pada tahun 1547.
Bahkan Kekaisaran Ottoman sebelumnya mengirim seorang duta besar ke Aceh.
Pada abad ke-19, saat Belanda menyerang, Sultan Daud Shah dan Tuanku Hashim menulis surat yang ditujukan kepada Khalifah Ottoman, meminta bantuan.
Sayangnya, surat itu jatuh ke tangan Belanda.
• Presiden Turki Erdogan Marah dan Buang Surat dari Donald Trump ke Tempat Sampah
• Anggota DPR RI asal Aceh Illiza Saduddin Djamal Diundang ke Perayaan Kemerdekaan Turki Ke 96
• Desakan Penangguhan Keanggotaan Turki di NATO Ditolak Norwegia
Daud Shah mengirim surat lain kepada khalifah Ottoman dan mencapai tujuannya.
Daud Shah mengungkapkan hubungan lamanya dengan Kekaisaran Ottoman.
Disebutkan, sejak Sultan Selim II berkuasa, Aceh berada di bawah perlindungan Kekaisaran Ottoman.
Sultan Daud Shah meminta bantuan Ottoman untuk menghentikan agresi Belanda di Aceh.
Sayangnya, Turki tidak mampu mengirim bantuan di abad itu, karena sedang dilanda konflik internal dan kekacauan.
Pada 1903, Daud Shah ditangkap oleh Belanda.
Singkatnya, ada hubungan erat antara Turki dan Aceh sejak abad ke-16.
Terlepas dari jarak geografis, Aceh adalah sekutu strategis Kekaisaran Ottoman pada abad itu.
Mereka belajar lebih banyak hal dari satu sama lain karena pertukaran budaya.
Orang Turki mengajari orang Aceh cara menempa meriam.
Pada abad ke-19 ada kekacauan politik dan gejolak di Turki yang menjadi alasan mengapa Turki tidak mengirim bantuan afektif ke Aceh.
Tapi, pada abad itu juga orang-orang Turki menunjukkan perhatian besar terhadap Aceh.
Pada 2004, ketika tsunami pertama melanda Indonesia, Turki mengirim 600.000 dolar ke Indonesia.
Berdasarkan pemaparan tersebut, terbukti bahwa hubungan Turki dan Indonesia sangat baik.
Semoga jalinan hubungan bilateral ini akan terus terajut di masa akan datang, terutama di sektor ekonomi dan pariwisata. Salam Persahabatan.
• Indonesia dan Turki Perkuat Upaya Kerja Sama Bisnis
• Elif Kubra, Selebgram Turki Merasa Senang Bisa ke Pulo Aceh