Konflik Papua

Seperti Aceh yang Pernah Dilanda Konflik, Begini Riwayat Konflik Papua yang Masih Menuntut Merdeka

Editor: Taufik Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi KKB Papua

Anggota DMP terdiri dari 400 orang kepala suku dan adat, 360 orang dari unsur daerah, 266 orang dari unsur organisasi masyarakat.

DMP kemudian memilih agar Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia.

Namun sebagian masyarakat Papua merasa hasil Pepera tidak mewakili keinginan mereka yang seutuhnya.

Mereka memelesetkan referendum, dari “act of free choice” menjadi “act of no choice“ karena mereka dipaksa dengan ancaman kekerasan militer untuk memilih Indonesia. 

Fakta lain adalah, sebelum referendum digelar, Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soeharto, sudah menandatangani kontrak karya dengan perusahaan asal Amerika Serikat Freeport untuk memulai kegiatan kegiatan penambangan emas di Ertsberg, Puncak Jaya.

Kepala Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Yan Warinussy mengatakan hasil referendum 1969 yang tidak representatif selalu menjadi ganjalan masyarakat Papua dalam menjalani integrasinya dengan Indonesia. 

“Bahkan di dalam (referendum) ada orang-orang non-Papua yang terlibat. Inilah yang menjadi persoalan yang selalu diperdebatkan dari waktu ke waktu. Referendum 1969 tidak pernah bisa merepresentasikan keinginan masyarakat Papua,” ujar dia.

Warinussy menekankan bahwa pemerintah Indonesia perlu “meluruskan” sejarah Papua yang dimulai sejak referendum, agar tidak lagi menjadi ganjalan yang terus memicu konflik-konflik dan ketidakpuasan di Papua.

Legalitas Pepera 

Menurut Juru Bicara Kementerian Luar Neger Indonesia Teuku Faizasyah, hasil Pepera 1969 sudah sangat kuat.

Jajak pendapat itu, kata Faizasyah, digelar atas kesepakatan Indonesia-Belanda dan PBB, dengan mekanisme dan aturan-aturan yang sudah disepakati, termasuk sistem perwakilan.

Menurut dia, sistem perwakilan bahkan masih tetap relevan dengan kondisi kontemporer, karena masyarakat Papua hingga kini mengenal sistem “noken” – yang memperbolehkan perwakilan dalam mencoblos surat suara – dalam Pemilu maupun Pilkada.

“Hasilnya dibawa ke Majelis Umum PBB dan diterima. Jadi pertanyaan-pertanyaan soal Pepera sangat tidak beralasan,” ujar dia.

Pepera, menurut Faizasyah, adalah kesepakatan politik antara Indonesia-Belanda, setelah sebelumnya Indonesia mewarisi bekas tanah jajahan Hindia Belanda, dari Sabang sampai Merauke.

“Setelah perjanjian KMB seharusnya Papua diserahkan ke Indonesia. Tapi Belanda tidak melakukannya, akhirnya ada proses politik,” ujar dia.

Halaman
1234

Berita Terkini