Konflik Papua

Seperti Aceh yang Pernah Dilanda Konflik, Begini Riwayat Konflik Papua yang Masih Menuntut Merdeka

Editor: Taufik Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi KKB Papua

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Suasana Papua lebih panas dari biasanya dalam tiga bulan terakhir, setelah puluhan orang tewas dalam kerusuhan yang dipicu isu rasialis dan diskriminasi terhadap penduduk asli provinsi di ujung timur Indonesia ini. 

Sejak itu, tuntutan referendum dan slogan-slogan pro-kemerdekaan – yang sebenarnya tak pernah padam – seperti menemukan momentum untuk kembali bersuara bahkan lebih nyaring.

Sementara, Jakarta merespons dengan mengirimkan lebih banyak pasukan keamanan.

Papua, provinsi yang berpenduduk asli ras Melanesia, sarat dengan sejarah pelanggaran HAM, persaingan bisnis dan konflik politik, terutama sejak Indonesia dipimpin presiden Suharto pada akhir 1960-an.

Masuknya provinsi ini menjadi bagian dari Indonesia ini adalah kelindan antara kepentingan negara-negara besar pada awal perang dingin, kepentingan bisnis, serta pembagian wilayah kekuasaan negara-negara baru merdeka.

Referendum yang Penuh Pertanyaan

Indonesia yang merdeka pada 1945 menginginkan semua bekas wilayah jajahan pemerintahan kolonialisme Belanda menjadi wilayahnya, termasuk Papua yang kala itu disebut sebagai Netherlands New Guinea.

Namun, Belanda tidak bersedia memberikan wilayah ini karena secara ras dan etnis orang Papua asli berbeda dengan kebanyakan pendudukan Indonesia.

Sengketa ini berlangsung sejak Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 hingga belasan tahun kemudian.

M.C. Ricklefs dalam “Sejarah Indonesia Modern” (2008), mengatakan dengan difasilitasi Amerika Serikat tercapai kesepakatan antara Indonesia dan Belanda tentang Papua yang disebut dengan “Perjanjian New York” pada 15 Agustus 1962.

Inti kesepakatan adalah Belanda menyerahkan Papua di bawah kendali Otoritas Eksekutif Sementara PBB (UNTEA) pada 1 Oktober 1962. Selanjutnya, Belanda harus menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia selambat-lambatnya pada 1 Mei 1963.

“Sebelum akhir 1969, Jakarta juga akan menyelenggarakan pemilihan yang bebas di Papua untuk mengetahui apakah penduduknya menghendaki tetap menjadi bagian dari Indonesia atau tidak,” tulis Ricklefs.

Sejak perjanjian ini diteken, sudah muncul suara-suara yang menentang, karena tidak ada orang asli Papua yang dilibatkan dalam perundingan.

Pada 14 Juli hingga 2 Agustus 1969, akhirnya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau Act of Free Choice digelar sebagai referendum menentukan apakah penduduk Papua menghendaki tetap bergabung dengan Indonesia atau tidak.

Referendum tersebut diikuti oleh 1.026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang mewakili 815.904 penduduk Papua. 

Halaman
1234

Berita Terkini