Peristiwa itu dijawab dengan operasi militer di wilayah Nduga.
Amnesty International Indonesia mencatat 182 warga sipil Nduga meninggal dalam pelarian diri, setelah kampung mereka didatangi aparat keamanan yang memburu kelompok Egianus.
Pemerintah juga masih memiliki utang untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua, seperti kasus Wasior pada 2001 dan kasus Wamena pada 2003 yang lagi-lagi disebabkan konflik aparat dengan warga setempat.
Jakarta menuding tokoh pro-kemerdekaan Papua, Benny Wenda, menjadi dalang kerusuhan di Bumi Cendrawasih tiga bulan belakangan.
“OPM dan Benny Wenda berusaha membangun suatu kerusuhan dan ekspose ke dunia luar ada kekuatan untuk memerdekakan Papua dan Papua Barat,” kata mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto pada 30 September lalu.
Yan Warinussy mendesak pemerintah menyelesaikan akar permasalahan Papua dan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM. Menurut dia, kerusuhan yang terjadi di Papua tiga bulan belakangan merupakan buntut dari gagalnya pemerintah menangani kasus rasialis.
“Kasus pelaku rasialis dan diskriminasi itu sampai saat ini tidak jelas prosesnya,” kata Warinussy ketika dihubungi.
“Berkali-kali Presiden Jokowi ke Papua, tapi persoalan pelanggaran HAM belum pernah disentuhnya,” tutur Warinussy.
Menunggu Tangan Dingin Jokowi di Papua
Publik menunggu langkah-langkah Presiden Joko Widodo pada periode kedua pemerintahannya untuk menyelesaikan masalah Papua.
Harapan semakin kuat setelah dia meresmikan Jembatan Youtefa di Jayapura, yang merupakan kunjungan ke daerah pertama setelah dia menjabat presiden.
Tapi lagi-lagi pemerintah hanya melakukan pendekatan ekonomi, dengan terus membangun infrastruktur di Papua.
"Kedatangan saya di Papua saat ini merupakan ke-13 kali dan kita bertekad untuk membangun Papua yang lebih maju," ujar Jokowi, sapaan akrab presiden pada 28 Oktober 2019.
Usai kunjungan itu, pemerintah memastikan akan melakukan pemekaran wilayah di Papua. Papua yang tadinya terdiri atas dua provinsi, yakni Papua dan Papua Barat akan dimekarkan menjadi total empat provinsi.
Pemerintah mengklaim pemekaran provinsi di Papua akan membuat pengelolaan pembangunan lebih efektif, selain membangun iklim politik yang lebih kondusif. Keputusan ini juga diklaim sebagai respons atas aspirasi tokoh Papua.
Pendekatan ekonomi sebenarnya sudah dilakukan pemerintah sejak lama.
Dengan payung UU Otonomi Khusus, pemerintah membanjiri dana sebesar USD 5,3 miliar atau sekitar Rp 75,4 triliun sejak 2002-2009.
Namun dana berlimpah ruah itu tidak berarti banyak. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua versi Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 hanya 60,06, menempati peringkat terbawah sekaligus jauh tertinggal ketimbang wilayah lainnya.
Koordinator Jaringan Damai Papua Adriana Elisabeth mengatakan pemekaran wilayah dan menggelontorkan dana dalam jumlah yang sangat besar tidak cukup menyelesaikan konflik di Papua.
Menurut Adriana yang juga peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pemekaran wilayah hanya akan memuaskan elite dan kelompok tertentu di Papua tanpa menyentuh akar persoalan.
LIPI sudah sejak lama memetakan empat akar persoalan di Papua. Yakni kegagalan pembangunan, marginalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, kekerasan negara dan pelanggaran HAM, serta sejarah dan status politik wilayah Papua.
“Pemekaran wilayah mudah dilakukan. Tapi apakah itu menjamin konflik demografi di tengah masyarakat Papua hilang?” tanya Adriana.
Menurut Adriana, pembangunan ekonomi tetap perlu dilakukan, tapi pemerintah juga harus memastikan orang asli Papua bisa dapat merasakan dan memiliki daya beli terhadap infrastruktur yang dibangun.
Karena selama ini, roda perekonomian di Papua justru “dikuasai” oleh warga pendatang.
Masih banyak orang asli Papua yang tinggal di wilayah pedalaman dan belum tersentuh pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak.
Sedangkan kasus-kasus kekerasan yang terus berulang di Papua juga harus segera diselesaikan.
Perlu ada dialog untuk menghentikan rantai kekerasan di Bumi Cendrawasih, meski tidak musti membahas status politik Papua atau aspirasi referendum. "Setidaknya bahas bagaimana menghentikan kekerasan di Papua," saran Adriana.
Jangan Tutupi Masalah HAM
Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib pun meminta pemerintah tidak menutupi masalah HAM di Papua dengan proyek-proyek pembangunan infrastruktur.
“Pembangunan menjadi kewajiban negara di seluruh Indonesia. Tapi harus ada prioritas di Papua yaitu bicara masalah HAM,” kata dia.
Masyarakat Papua, lanjut Timotius, menanti komitmen Jokowi menuntaskan kasus HAM pada lima tahun terakhir, namun belum terbukti hingga kini.
“Tidak satu pun beliau sentuh dan bicarakan dalam lima tahun terakhir,” tutur dia.
Selain itu, dia mendesak pemerintah fokus membangun sumber daya manusia Papua. Dia juga mengatakan rencana pemekaran wilayah di Papua tidak dibutuhkan masyarakat.
“Kalau hanya membangun infrastruktur dasar terkesan membangun tanah Papua tapi tidak membangun manusianya,” ujar Timotius.
Victor Mambor, seorang wartawan di Papua mengatakan konflik Papua membutuhkan solusi komprehensif mulai dari pelurusan sejarah, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dan masalah demografi bukan sekadar mewujudkan kesejahteraan “ala Jakarta”.
Dengan pandangan ini, kemudian lahir kebijakan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur sehingga diharapkan perekonomian tumbuh lebih tinggi. Pendekatan ini sudah dilakukan sejak era Presiden Soeharto dan terbukti tidak berhasil.
“Meski penting, tapi tidak pembangunan infrastruktur tetap menyentuh akar konflik di Papua,” ujar dia.
Untuk menyelesaikan konflik pemerintah harus berbesar hati mengakui bahwa ada kelompok bersenjata yang menginginkan kemerdekaan. Mereka bukan kelompok kriminal bersenjata, penyebutan yang kerap dilakukan pemerintah, namun memiliki ideologi dan aspirasi politik.
“Penyelesaiannya tentu akan berbeda. Memandang kelompok itu hanya sebagai gerombolan kriminal tidak akan menyelesaikan persoalan,” ujar dia.
Kedepankan Dialog dan Hilangkan Militerisme
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Budiman Sudjatmiko mengatakan masalah Papua harus diselesaikan dengan jalan damai dan mengedepankan dialog yang dimulai dari tingkat suku-suku.
“Papua belum menjadi bangsa yang terpisah dari Indonesia, sementara referendum tidak dimungkinkan dalam aturan perundangan,” ujar dia dalam sebuah diskusi di Jakarta.
“Harus ada jalan damai bagi Papua. Pendekatan militerisme harus dihilangkan. Orang-orang Papua harus terus menerus memberi kepercayaan dengan kelembagaan tadi dan menciptakan dialog,” katanya.
Sedangkan Teuku Faizasyah mengatakan, tuntutan referendum tidak kontekstual, karena masalah Papua sebenarnya adalah urusan politik yang sudah diselesaikan.
“Papua itu hanya tertunda bergabung dengan Indonesia, itu warisan dari kolonialisme,“ ujarnya.(AnadoluAgency)
• Jelang Milad GAM, Beredar Selebaran Instruksi Naikkan Bendera Bintang Bulan, Ini Penjelasan KPA
• KPA Aceh Timur Peringati Milad GAM di Masjid Zadul Muad Peureulak
• Milad GAM jangan Sampai Ganggu Keamanan