Adegan jamuan makan malam itu salah satu bagian penting dari episode keikhlasan rakyat Aceh mengumpulkan dana untuk pembelian pesawat terbang.
• Kisah Keluarga Miskin di Aceh Timur dengan Tiga Anak Didera Lumpuh Layu
• Korban Puting Beliung di Aceh Utara Sudah Sepekan Mengungsi, Begini Kondisinya
• Polisi Tangkap Bandar Sabu di Asrama Mahasiswa Aceh Selatan, Ini Barang Bukti yang Diamankan
Kehadiran Presiden Soekarno dan rombongan ke Aceh pada waktu itu dalam rangka mengumpulkan dana untuk pembelian pesawat terbang.
Penulis sejarah Tgk AK Jakobi mencatatkan peristiwa itu dalam bukunya “Aceh Daerah Modal” (Yayasan Seulawah RI-001, 1992).
“Bung Karno mengharapkan malam itu dapat terkumpul sejumlah dana perjuangan untuk membeli sebuah pesawat terbang, yang sangat diperlukan dalam tahap perjuangan kemerdekaan saat itu,” tulis AK Jakobi.
Penulis sejarah Aceh lainnya, H.Muhammad TWH dalam satu artikelnya (Tabloid Bersatu, 1999) mengutip buku ”Modal Perjuangan Kemerdekaan” yang ditulis TA Talsya, menyebutkan Presiden Soekarno dalam pertemuan itu menyampaikan pidato antara lain berbunyi;
“Harga satu pesawat Dakota hanya M$ 120.000. Saya belum mau makan sebelum mendapat jawaban ’ya’ atau ’tidak’,” kata Soekarno yang berhasil membakar semangat para saudagar itu.
Dalam pertemuan tatap muka Presiden Soekarno dengan tokoh-tokoh pejuang, tokoh masyarakat, pengusaha serta pemuda, di Hotel Atjeh itu, Bung Karno mencetuskan sebuah ide dan menantang jiwa patriotisme rakyat Aceh untuk meneruskan dan melestarikan perjuangan kemerdekaaan.
Presiden Soekarno tak hanya meminta dukungan moril, tapi juga materil.
“Melihat hasil dana yang masuk, Bung Karno dengan senyum berseri mulai mengajak hadirin beranjak ke meja makan,” tulis AK Jakobi lagi dalam ”Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemrdekaan 1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang, PT. Gramedia, 1998.”
Rapat Raksasa di Blangpadang
Presiden Soekarno dan rombongan tiba di Banda Aceh dengan dengan pesawat, mendarat di lapangan terbang Lhoknga, pada 16 Juni 1948.
Dalam rapat raksasa di Lapangan Blangpadang, Presiden Soekarno menyatakan bahwa Aceh adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang masih utuh, tidak diduduki oleh Belanda.
Karena itu Aceh disebut ”Daerah Modal” yang berarti ”daerah untuk meneruskan cita-cita perjuangan kemerdekaan yang sedang dalam ancaman penjajah.”
(Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemrdekaan 1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang, PT. Gramedia, 1998)
Ketika Soekarno mengakhiri kunjungannya di Aceh pada 20 Juni 1948, dana yang terkumpul untuk pembelian pesawat itu berjumlah 120.000 dollar Singapura dan 20 Kg emas.