Seorang pekerja sosial dan aktivis kebencanaan, Imran SE MSM, dua hari lalu jalan-jalan ke Pulo Aceh, satu kecamatan kepulauan di Kabupaten Aceh Besar. Sesaat setelah merapat di pelabuhan nelayan Lampuyang, Kemukiman Pulau Breuh Selatan, Imran langsung merekam beberapa bangunan publik di ibu kota kecamatan Pulo Aceh tersebut. “Prihatin sekali, Bang. Seperti negeri tak bertuan,” tulis Imran dalam caption fotonya yang dikirim ke Serambinews.com.
SERAMBINEWS.COM, ACEH BESAR – Masyarakat Pulo Aceh tentu bangga dengan berbagai sebutan indah yang ditabalkan untuk wilayah mereka.
Salah satu sebutan paling menginspirasi adalah ‘kepingan surga’ di dunia. Sebuah sebutan untuk menggambarkan betapa indahnya pesona alam Pulo Aceh. Tak ada yang menafikan itu.
Masyarakat Kecamatan Pulo Aceh yang mendiami 17 gampong (desa) dalam wilayah tiga kemukiman—Pulau Breuh Selatan, Pulau Breuh Utara, dan Pulau Nasi—tidak saja berharap nama indah, tetapi lebih dari itu, harus ada gerak di atas 'kepingan surga.'
Katakanlah, kalau memang Pulo Aceh itu indah dan sangat menjanjikan sebagai destinasi wisata, apa yang sudah dilakukan untuk itu.
Katakanlah, kalau memang potensi di sektor perikanan, apa yang sudah dilakukan untuk itu.
Katakanlah potensi sektor perkebunan/pertanian, apa pula yang sudah digarap?
Dan, masih banyak sektor-sektor potensial lain yang selama ini masih sebatas enak untuk diucapkan, belum dikelola secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat.
• UPDATE Data Corona di Aceh Tanggal 25 Juni 2020: Hari Ini Bertambah 4 Kasus Positif
• Tgk Amran Resmi Dilantik Jadi Bupati Aceh Selatan, Ini Harapan Gubernur Aceh
Di sektor pelayanan publik, juga setali tiga uang.
“Perkantoran pemerintah, termasuk kantor camat di Lampuyang tampak menyemak.
Menurut kabar, ada seorang warga setempat yang jadi PNS dan bertugas di kantor camat, tak tahu harus berbuat apa.
"Akhirnya dia pelihara lembu di samping kantor,” kata Zailami Sofyan Abdullah, seorang warga Pulo Aceh dari Gampong Gugop, sebuah desa di sekitar ibu kota kecamatan.
Zailami menceritakan, sudah puluhan tahun Pulo Aceh menjadi kecamatan sendiri, berpisah dari induknya, Kecamatan Peukan Bada.
Tapi, kata Zailami, apa yang dirasakan tak sebanding dengan rentang usia. Kalau nggak salah, lanjut Zailami, sudah tujuh kali ganti camat.
• Daftar Harta Kekayaan Megawati Soekarnoputri, Asetnya Tersebar di Seantero Jawa
• Viral Kesulitan Jaringan Internet, Mahasiswi Ini Masuk ke Hutan Presentasi Bahan Kuliah
Dalam hal pelayanan publik, ungkap Zailami, karena pelayanan di Kantor Camat Pulo Aceh tak bisa diharapkan, tak jarang mereka harus ke daratan, meminta bantu ke kecamatan induk di Peukan Bada.
“Misalnya untuk urus akte kelahiran atau kebutuhan administrasi kependudukan lainnya. Syukurlah mereka mau membantu, karena maklum dengan kondisi kami,” ujar Zailami.
Untuk ke daratan (Banda Aceh-Aceh Besar), lanjut Zailami, bukan hal mudah karena berkonsekwensi pada biaya yang harus dikeluarkan.
“Minimal harus ada Rp 200.000. Akan bertambah besar kalau anak atau istri minta ikut. Belum lagi untuk beli oleh-oleh. Kan harus juga bloe-bloe boh kayee," ujar pria yang terkesan sangat komunikatif dan blak-blakan ini.
• Terduga 2 Pria yang Jambret Dompet Seorang Mahasiswi di Aceh Utara Berhasil Ditangkap
Zailami berharap, secara pribadi—dia yakin juga masyarakat Pulo Aceh sependapat—kalaupun pelayanan publik di kantor kecamatan tidak bisa full seperti di tempat lain—karena berbagai alasan—paling tidak satu atau dua hari dalam seminggu, sudah cukup bagi mereka.
“Jangan seperti sekarang, kantor (semoga tak jadi) sarang kuntilanak. Sudah rusak di sana-sini akibat tidak terawat. Katanya akan ada proyek lagi bikin pagar kantor camat. Sudah pernah direhab tapi sesudah itu tak ada juga pegawai yang ngantor,” ujarnya.
Apa yang disampaikan Zailami tak jauh beda dengan tampilan visual yang direkam Imran SE MSM, pekerja sosial dan aktivis kebencanaan yang singgah ke Lampuyang, Rabu (24/6/2020).
Foto-foto yang diposting Imran memperlihatkan kondisi memprihatinkan pada bangunan fisik Kantor Camat Pulo Aceh dan beberapa kantor lainnya di pusat kecamatan tersebut.
• VIDEO - Ketua KPK Firli Tertangkap Naik Helikopter, Begini Respon ICW Hingga MAKI Lapor ke Dewas
“Prihatin sekali, seperti bangunan di negeri tak bertuan,” tulis Imran dalam caption fotonya.
Menurut Imran, ada kesan yang dilakukan selama ini hanya berorientasi proyek fisik sedangkan manfaat bagi masyarakat tak pernah jadi perhatian.
“Buktinya ya ini, bangunan dibiarkan terbengkalai. Ketika rusak direhab. Kalau ada yang belum lengkap, seperti pagar kantor camat, dibangun lagi,” ujar Imran.
Selain bangunan perkantoran di Lampuyang, Imran juga sempat merekam kondisi fasilitas publik di Lamteng, Kemukiman Pulau Nasi.
Dari Lampuyang ke Lamteng membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan perahu mesin atau boat nelayan.
Di Lamteng ada pelabuhan penyeberangan Pulo Aceh ke daratan Banda Aceh. Namun kondisi beberapa bangunan/fasilitas pelabuhan, menurut pengamatan Imran juga terkesan kurang perawatan.
“Saya pikir ini perlu menjadi perhatian apalagi pelabuhan merupakan pintu masuk ke suatu wilayah, dan salah satu kesan pertama adalah di pelabuhan,” demikian Imran. (nasir nurdin)