Sebagai lembaga legislatif, DPRA punya peran penting dalam memastikan keberlangsungan pemerintahan yang bersih dan transparan, seperti masalah anggaran penanganan Covid-19.
Jangan sampai anggaran yang besar itu justru dimanfaatkan untuk memperkaya diri di tengah situasi darurat nasional saat ini.
Tapi yang membuat saya merasa aneh, jangankan masyarakat, dewan sendiri justru tidak tahu tentang rincian penggunaan anggaran penanganan Covid-19.
Ini berbahaya, karena menyangkut integritas lembaga dewan di mata publik.
• Ketua HPBM Banda Aceh: Kami Heran Pansus DPRA Dapil 4 Nihil Temuan di Bener Meriah dan Aceh Tengah
• Toyota Lanjutkan Produksi di Seluruh Dunia Secara Bertahap, Seusai Ditutup Sejak Februari 2020
• Cina Mengiba pada India Agar Mengakhiri Boikot Produk Mereka, Ini Rahasia Kekuatan India
Hal itu sekaligus juga menunjukkan betapa lemahnya wibawa DPRA di masa eksekutif. Dewan gagal menjalankan fungsi pengawasan, sehingga eksekutif sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan.
Karena itu, isu bahwa ada deal-deal tertentu antara eksekutif dengan lembaga dewan bisa jadi benar adanya. Bagi dewan, yang terpenting adalah dana pokir (dana aspirasi). Jika itu sudah terpenuhi, pengawasan sudah selesai.
Misalnya seperti kasus proyek multiyear. Padahal sebelumnya tidak ada pembahasan oleh DPRA periode sebelumnya, dan pimpinan DPRA periode sekarang juga sudah membuat undangan rapat paripurna pembatalan proyek tersebut.
Namun ternyata sampai sekarang paripurna itu belum juga digelar. Jadi sangat wajar jika masyarakat menilai bahwa kemungkinan ada deal-deal tertentu antara lembaga dewan dengan eksekutif.
Contoh lain terkait persoalan Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong di Aceh Besar. Setelah investor angkat kaki dari kawasan itu, masyarakat belum melihat langkah serius yang ditempuh oleh DPRA.
Hingga kini belum ada langkah apapun yang ditempuh DPRA, dan bahkan terkesan membiarkan begitu saja PT PEMA mengelola minyak dan gas di Blok B. Padahal kita tahu, PT PEMA lebih banyak gagal daripada prestasi.
• Ikuti Jejak Apple, Mulai Tahun Depan, Smartphone Samsung Juga Tidak Disertai Charger
• Terpisah 16 Tahun karena Tsunami, Gadis Aceh Ini Menemukan Kembali Ayahnya Lewat Media Sosial
• Jangan Sembarangan Beli, Saus Sambal Botolan Dengan Ciri Seperti Ini Bisa Sebabkan Kanker
Anehnya, Ketua DPRA malah memberikan apresiasi kepada Pemerintah Aceh yang telah mengambil alih Blok B, sedangkan kejelasan status dan pengelolaannya hingga kini masih menjadi tanda tanya besar.
Saya bukannya tidak setuju DPRA mendukung dan mengapresiasi pemerintah. Tetapi DPRA juga harus mampu menjadi lembaga pengontrol, bukan justru menjadi buzer pemerintah. Ini sangat memalukan!
Begitu juga dengan masalah Bank Aceh, pembangunan onkologi RSUZA, kasus sapi kurus, dan lain sebagainya.
Belum lagi berbicara masalah kekhususan dan keistimewaan Aceh seperti implementasi butir-butir MoU Helsinki. Mungkin ini akan lebih sulit dilakukan, terlebih Pemerintahan Aceh masih dipimpin oleh seorang Pelaksana Tugas (Plt).
Hal seperti inilah yang membuat kami mahasiswa prihatin. Kehadiran abang-abang kami para mantan aktivis di lembaga dewan terhormat ternyata jauh dari harapan.