Larangan Pokir

Ghazali Abbas Apresiasi Kemendagri Larang Pokir DPRA Rp 2,7 Triliun

Penulis: Nasir Nurdin
Editor: Nasir Nurdin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ghazali Abbas Adan

"Akan muncul kecaman, sumpah serapah, dan ancaman berkaitan larangan itu. Saya berharap pihak Kemendagri mengabaikan saja," kata Ghazali Abbas Adan.

Laporan Nasir Nurdin | Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Mantan anggota DPD RI, Ghazali Abbas Adan mengapresiasi Kemendagri yang melarang penganggaran pokok-pokok pikiran (pokir) DPRA sebesar Rp 2,7 triliun atau 16 persen dari total belanja daerah dalan Rancangan Qanun (Raqan) Aceh tentang APBA Tahun 2021.

Dalam penilaian Ghazali Abbas, di balik pengalokasian anggaran yang amat sangat fantastis itu muncul analisa bahwa penumpang gelap/anak haram atas nama pembangunan ikut serta dalam anggaran tersebut.

Ghazali Abbas meyakini akan muncul kecaman, sumpah serapah, dan ancaman berkaitan dengan larangan penganggaran pokir oleh pihak Kemendagri.

"Saya berharap pihak Kemendagri mengabaikan saja," kata Ghazali kepada Serambinews.com, Jumat (8/1/2021).

Baca juga: Seorang Remaja Hantam Sepasang Kekasih Pakai Batu Besar, Kemudian Gasak Barang Berharga

Menurut Ghazali, sudah teramat sering terdengar rupa-rupa narasi sumbang dan tidak berakhlak dialamatkan kepada siapapun, termasuk kepada pemerintah, baik daerah maupun pusat apabila ada keinginan (hawa nafsu) nya tidak dipenuhi.

Baca juga: Ini Tiga Hak Istimewa Lionel Messi di Barcelona yang tidak Dipunyai Pemain Lain

"Sekali lagi kruu seumangat, tahniah, apresiasi dan dukungan saya kepada Kemendagri atas keputusannya itu," ujar Ghazali Abbas Adan.

"Prestasi" Aceh

Ghazali Abbas Adan mengatakan, di antara "prestasi" Pemerintah Aceh dan DPRA yang agaknya dipahami sebagai salah satu "kekhususan" Aceh dalam MoU Helsinki dan UUPA adalah hampir tiap tahun terlambat pengesahan APBA.

"Saya katakan sebagai "prestasi" dan "kekhususan" Aceh, karena sepengetahuan saya tidak ada pemerintah daerah lain di Tanah Air yang setara dengan Aceh berkaitan dengan keterlambatan pengesahan APBD," kata Ghazali.

Baca juga: Kaki Petani Ditebas hingga Putus, Pelaku Tuduh Korban Curi Sawit

Padahal, lanjutnya, APBA merupakan pokok utama bagi kelancaran program pemerintah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat, sekaligus sebagai modal dasar mewujudkan Aceh Hebat.

Dalam penilaian Ghazali, sebab musabab atau biang keladi keterlambatan pengesahan APBA itu yang paling menonjol adalah lamanya tarik ulur dan tawar menawar akan kepastian adanya dana aspirasi atau istilah aktual adalah anggaran pokok-pokok pikiran (pokir) anggota DPRA.

"Kalaupun ia sudah ada maka yang lebih alot lagi ketika membicarakan jumlah angka yang harus ditulis dalam nomenklatur dana aspirasi dan/atau pokir itu," ujar Ghazali.

Baca juga: Utang Terus Bertambah, Indef: Jadi Beban Berat Bagi Presiden Indonesia Selanjutnya

Proses pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat menjadi terhambat lantaran tarik ulur dan tawar manawar itu.

"Ini pula yang menyebabkan munculnya komunikasi dan interaksi yang tidak elok antara eksekutif dan legislatif Aceh selama ini. Namun dalam waktu terakhir ini eksekutif dan legislatif Aceh menunjukkan interaksi dan komunikasi yang semakin baik dan kompak. Agaknya faktor kepastian adanya dana aspirasi/pokir itu yang membuat perubahan," kata Ghazali.

Menurut Ghazali, anggaran pokir itu sangat tidak lazim dalam penganggaran anggaran pembangunan, karena bertentangan dengan mekanisme penyusunan anggaran pembangunan yang sejatinya melalui e-planing, e-budgeting yang bermuara kepada e-reporting dan e-controling.

Baca juga: PMI Aceh Rakor dengan PMI Banda Aceh Membahas Terapi Plasma Konvalesen untuk Pasien Covid-19

Setiap sen anggaran pembangunan, lanjut GHazali harus tepat sasaran yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi rakyat banyak. 

"Nyata lokasi, wujud dan kualitasnya. Setiap sen yang dialokasikan untuk obyek pembangunan apakah dalam bentuk meterial dan /atau nonmaterial harus dapat dipertanggungjawabkan," katanya.

Sejatinya, untuk menentukan objek pembangunan itu harus diawali dengan musrenbang di semua tingkatan pemerintahan. "Dengan demikian dipastikan tidak ada penumpang gelap alias anak haram dari subjek dan objek pembangunan," demikian Ghazali Abbas Adan. (*)

Berita Terkini