Krisis Politik di Myanmar

Myanmar: Krisis Politik, Rohingya, dan Hubungannya dengan China

Editor: Taufik Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Para demonstrasn bereaksi saat gas air mata ditembakkan oleh polisi anti huru hara selama demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, Senin (8/3/2021)

Sistem negara itu meniru infrastruktur birokrasi pemerintahan kolonial Inggris , tetapi fungsi utama didelegasikan kepada perwakilan Angkatan Darat Burma dan tugas administratif kepada elit lokal Inggris.

Dengan demikian, itu adalah pemerintahan campuran antara elemen sipil dan militer.

Negara ini paling tidak mempertahankan kebijakan dalam dan luar negeri pada tiga masalah utama sejak memperoleh kemerdekaan, yaitu: konflik etnis internal yang terus menerus, pembangunan ekonomi, integrasi dengan sistem/isolasi global, dan menyeimbangkan aktor utama di kawasan.

Kita dapat mengklaim bahwa selama Perang Dingin dan setelahnya, Myanmar, yang menerapkan "kebijakan luar negeri netral" pada tahun-tahun awal kemerdekaannya, bisa menerapkan hubungan yang seimbang dengan China dan Amerika Serikat.

Kita dapat menemukan banyak contoh kebijakan yang seimbang dalam sejarah negara itu.

Pada 1950-an, misalnya, ketika kerja sama militer dan bantuan dari AS berkurang sebagai akibat dari "Battle Act" - tindakan bantuan pertahanan timbal balik - yang ditandatangani dengan AS pada 1951, Myanmar terpaksa memperdalam hubungan militer dan ekonominya dengan China.

Politik Myanmar pada 1950-an dan 1960-an yang penuh kontroversi, ditandai dengan ketegangan antara komunitas etnis dan pemerintah pusat mengenai apakah kebijakan sosialistik atau pasar bebas harus dijalankan.

Pada1958, sebagai akibat dari konflik yang terus memanas, Perdana Menteri U Nu meminta tentara "memulihkan ketertiban" dan pemilihan umum diadakan 18 bulan kemudian.

Pemerintah Persatuan Burma, yang dibentuk melalui Perjanjian Panglong --ditandatangani antara Jenderal Aung San dan perwakilan etnis minoritas utama negara itu, seperti Kachin dan Chin-- berakhir dengan kudeta militer Jenderal Ne Win pada 1962.

Selama itu periode ini, di bawah wacana kebijakan luar negeri yang "terisolasi", Myanmar mulai mengikuti prinsip-prinsip "Jalan Burma Menuju Sosialisme" pada 1975, dengan Dewan Revolusi yang terdiri dari pejabat militer dan Partai Program Sosialis Burma (BSPP), sayap sipilnya.

Meskipun ada amandemen 1974 dalam undang-undang yang bertujuan meningkatkan peran parlemen, orang mungkin tetap berpendapat bahwa tentara terus mendominasi politik dalam dan luar negeri negara.

Faktanya, Dewan Pemulihan Hukum dan Ketertiban Negara (SLORC) telah mengkonsolidasikan pengaruh militer dalam politik dan kehidupan sosial.

Sementara era 1980-an menandai awal dari rezim pengawasan militer Myanmar yang bertahan lama, mereka juga melihat hubungannya dengan komunitas internasional memburuk secara serius karena sanksi.

Berbagai sanksi dijatuhkan antara 1988 dan 2010, kebanyakan oleh AS dan Uni Eropa (UE).

Selama 2000-an, Myanmar sedikit banyak menjauh dari wacana kebijakan luar negeri yang terisolasi/netral, sementara juga menjalani reformasi demokratisasi dalam negeri.

Halaman
1234

Berita Terkini