Krisis Politik di Myanmar

Myanmar: Krisis Politik, Rohingya, dan Hubungannya dengan China

Editor: Taufik Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Para demonstrasn bereaksi saat gas air mata ditembakkan oleh polisi anti huru hara selama demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, Senin (8/3/2021)

Namun perlu dicatat sejak kedua negara menyelesaikan sengketa perbatasan secara damai pada 1960-an, masalah tersebut tidak lagi terjadi dalam hubungan internasional China.

Ketika dinamika dasar hubungan China dengan Myanmar dibentuk oleh faktor-faktor seperti geo-strategi, persaingan ekonomi, dan kekuatan regional, hubungan keduanya juga secara langsung dipengaruhi oleh sistem politik dan kebijakan luar negeri China sejak berdirinya Myanmar.

Jika sejarah China-Myanmar juga menjadi bahan pertimbangan, aspek hubungan kedua negara dapat dikerucutkan dalam empat poin.

Yakni dampak pengawasan militer Myanmar terhadap kebijakan dalam dan luar negerinya, penyesuaian ulang China terhadap perubahan pemerintah (militer atau sipil) di Myanmar, hubungan ekonomi dan komersial China, dan keamanan perbatasan dan usaha untuk membatasi pengaruh kekuatan global AS di kawasan.

Dalam kerangka parameter tersebut, China memasukkan Myanmar dalam koridor ekonomi China-Myanmar sebagai bagian dari Belt and Road Initiative.

Myanmar secara resmi bergabung dengan Belt and Road Initiative pada 2018 setelah menandatangani nota kesepahaman dalam 15 poin.

Dengan demikian, sebagai hasil dari hubungan geostrategis tersebut, China kini memiliki opsi untuk melewati Selat Malaka (jalur sepanjang 1.700 kilometer) dan mendapatkan jalur alternatif ke Samudra Hindia.

China menghubungkan Mandalay Myanmar, serta Yangon dan Kyaukpyutahat di Teluk Benggala, dengan Provinsi Yunnan, yang tidak terhubung ke laut.

Dalam lingkup Koridor Ekonomi China-Myanmar (CMEC), sudah ada rute penghubung, seperti Zona Ekonomi Khusus Kyaukpyu, Zona Kerjasama Ekonomi Perbatasan China-Myanmar, dan Proyek Kota Yangon Baru.

Mungkin hal paling menonjol dari koridor China-Myanmar adalah Provinsi Yunnan.

Dengan perbatasan sepanjang 1.997 kilometer, volume perdagangan Yunnan dengan Myanmar mencapai 24 persen dari total perdagangan kedua negara.

Pelabuhan Laut Dalam Kyaukpyu dan kawasan industri secara strategis juga penting.

Proyek senilai USD1,3 miliar ini sedang dibangun di Rakhine oleh grup CITIC China dengan pendanaan dari grup Thai Charoen Polcphang.

Pelabuhan Kyaukpyu terletak di wilayah Rohingya yang tengah bergejolak.

Dimensi geo-ekonomi dalam hubungan China-Myanmar sangat menonjol dalam hal ini.

Ketika dievaluasi dalam konteks Belt and Road Initiative, ketidakstabilan politik di negara mana pun akan berdampak negatif pada kepentingan ekonomi dan perdagangan China.

Baca juga: Polisi Amankan 16 Anggota Aliran Sesat Hakekok, Ada Ritual Mandi Bareng Laki-laki dan Perempuan

Baca juga: Kejar Tiket Lolos ke PORA 2022, PBVSI Aceh Besar Tetapkan 17 Pemain

Baca juga: Penampilan Valentino Rossi Sepanjang Tes Pramusim MotoGP 2021 Disorot karena tidak Sesuai Harapan

Dalam kasus Rakhine, China melindungi Myanmar dari sanksi dan kecaman internasional di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB):

Pada 2007, China memveto resolusi yang menyerukan diakhirinya serangan terhadap etnis minoritas, dan pada 2017, memveto resolusi yang diusulkan untuk mengakhiri agresi terhadap Rakhine.

China juga telah berusaha memainkan peran dalam menyelesaikan perselisihan etnis dalam politik lokal Myanmar, serta menjaga keseimbangan antara tentara, pemerintah, dan oposisi.

Kepentingan geo-strategis Myanmar bagi China dan masalah keamanan perbatasan telah mendorong negara tersebut ke garis depan dalam hubungan China.

Masalah lain yang sangat dikhawatirkan China berkaitan dengan negara-negara sekelilingnya adalah keamanan perbatasan dan dampaknya jika terjadi konflik internal di negara-negara itu.

Karena itu China berupaya terlibat dalam proses pembangunan perdamaian Myanmar.

Pada 2013, secara resmi menjadi tuan rumah pembicaraan damai dan negosiasi dengan organisasi minoritas Myanmar.

Rencana tersebut dilakukan dengan tiga tahap yang diusulkan sebagai solusi krisis Rohingya.

Namun inisiatif China tersebut tidak mendapat respons positif, tak terkecuali dari Tatmadaw.

Kita dapat menyimpulkan bahwa kebijakan berbasis ideologi yang diadopsi China pada 1960-an berada di balik sikap diam Tatmadaw terhadap hubungan China-Myanmar kontemporer.

Baca juga: Rumor Kepergian Lionel Messi dari Barcelona Berembus Kencang Usai Tersingkir dari Liga Champions

Baca juga: Pelatih Akui Khabib tak Patuhi Perintah saat Menghajar Conor McGregor di UFC 229

Baca juga: Moralitas Demokrasi Indonesia

Sejak kemerdekaan Myanmar pada 1948, tentara telah menjadi kekuatan politik dan administratif paling kuat di negara itu.

Gerakan demokratisasi yang dimulai pada 2011 juga dimulai dengan persetujuan tentara dan di bawah jaminan konstitusional tertentu.

Di sisi lain, konflik etnis, hubungan militer-politik dan kekuatan asing yang setara menjadi faktor pendorong dalam hubungan internasional negara tersebut.

Mengingat semua faktor yang disebutkan di atas, China mempertahankan hubungannya dengan Myanmar baik dengan rezim militer atau pemerintahan sipil di negara tersebut di atas landasan eko-politik, dan itu dilakukan untuk mengurangi pengaruh AS di wilayah tersebut, sebagaimana aktivitas China di Asia.

Oleh karena itu, menjaga keamanan perbatasan dan stabilitas internal tampaknya menguntungkan China.

Keputusan China, bersama Rusia, untuk menyimpang dari konsensus keputusan Dewan HAM PBB terkait Myanmar setelah intervensi militer terbaru dengan alasan “tidak mencampuri urusan dalam negerinya” menunjukkan konsistensi kebijakan China terhadap Myanmar.(AnadoluAgency)

Berita Terkini