Pirous melakukan ziarah estitika Islam ke tanah kelahirannya pada tahun 1971, sekaligus ingin menggali akar dari kaligrafi Aceh.
Ia mengunjungi masjid masjid tua, mendatangi berbagai kuburan yang bernisan made in atau meungkin replika India atau mungkin juga Persia.
Ia bahkan mengunjungi berbagai situs bersejarah Aceh abad ke 16 dan 17.
Menurut sebuah cerita ia bahkan menghabiskan banyak waktu di Pesantren Tanoh Abee, Seulimeum yang terkenal sebagai salah satu gudang berbagai transkrip dan manuskrip, termasuk berbagai estetika klasik Islam di Aceh.
Tak terhitung coretan yang digoreskan pada halaman yang cukup banyak tentang deskripsi objek yang didapatkan.
Cukup banyak foto yang diabadikan yang pada awalnya hanya sebuah perjalanan napak tilas, namun kemudian menjadi mata air inspirasi kaligrafi Pirous yang tak pernah kering.
Baca juga: Mengenal Said Akram, Maestro Kaligrafi Kontemporer Asal Aceh yang Karyanya Mendunia
Pameran Pertama di Indonesia
Pada tahun 1972 Pirous membuat pameran tunggal kaligrafi di lobby Chase Manhattan Bank di Jakarta.
Pameran kaligrafi ini tidak hanya pertama untuk Pirous, akan tetapi juga menjadi pertama untuk Indonesia.
Pirous telah memulai sebuah babak baru estetika Islam Nusantara dengan mengambil titik mula, Aceh.
Ia telah mempersembahkan kepada ummat Islam Indonesia sebuah kontribusi seni dalam bentuk keindahan ekpresi keindahan kalam-kalam Allah Azza Wajalla.
Kaligrafi Indonesia kemudian terus berkembang.
Penemuan identitas diri Pirous, kemudian membuat banyak orang-orang terpelajar, kaya, dan berkuasa juga mempunyai sarana untuk menyatakan identitas dirinya melalui lukisan kaligrafi.
Cobalah berkunjung ke rumah atau kantor orang terpelajar, orang kaya, atau penguasa, dan lihatlah ke dinding.
Hampir dapat dipastikan akan ada satu atau dua lukisan kaligrafi yang bertengger, mungkin saja goresan Pirous atau perupa kaligrafi lainnya.
Lukisan itu bagi pemiliknya adalah penegasan diri kepada orang lain tentang cita rasa dan kebanggaan estetika Islami di tengah hiruk pikuk uang, kekuasaan, ilmu pengetahuan, dan berbagai temali lain yang berurusan dengan kehidupan.
Pirous telah membuka jalan penuntun kepada mereka yang mungkin larut, atau takut larut dan terjebak dengan modernitas, tentang menjadi Islam dan bangga dengan keislaman.
Kaligrafi islami yang dimulai oleh Pirous kini telah menjadi bagian penting dari seni rupa dan bahkan budaya Nusantara.
Suatu hari kelak ketika kaligrafi terus menerus berkembang dan terus membesar dan menjadi kekayaan bangsa, Pirous akan dikenang sebagai pemula dan pendiri.
Mungkin catatan sejarah tentang Pirous akan beranalogi dengan sejarah lingua franca Melayu Hamzah Fansuri.
Bukankah Hamzah yang merobah bahasa melayu dari bahasa tutur menjadi bahsa tulisan.
Bukankah kemudian Pirous yang memulai kaligrafi Nusantara?
Memang Pirous dan Hamzah Fansuri mempunyai kesamaan.
Keduanya berkaitan dengan tanah Fansur, Barus di Pantai Barat Sumatera.
Ayah Pirous adalah Pirous Noor Muhammad warga Barus berdarah Gujarat yang pindah ke Meulaboh pada tahun duapuluhan dan kawin dengan gadis Meulaboh Hamidah.
*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA ADA DI SINI