Kupi Beungoh

Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Lingkaran Budaya Muzakir Walad, dan “Resurrection” PKA (VIII)

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sosiolog Aceh, Ahmad Humam Hamid, berkunjung ke galery lukisan seniman Indonesia asal Aceh, Abdul Djalil Pirous (AD Pirous), di kawasan Dago Pakar, Bandung, April 2021.

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

KETIKA Muzakir Walad melaksanakan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) II pada tahun 1972, sesungguhnya ia melanjutkan pekerjaan Ali Hasyimi, Syamaun Gaharu, dan Teuku Hamzah.

Catatan sejarah menyebutkan salah satu missi PKA I adalah membawa semangat Ikrar Lamteh, setahun sebelumnya, yang ditulis dan diucapkan secara bersama oleh “orang Aceh” dari elemen yang berkonflik dalam pemberontakan DI/TII pada masa itu.

Ada tiga pesan kunci yang ingin diwujudkan oleh Walad pada PKA II; perwujudan keamanan Aceh, kesadaran tentang kebesaran kekayaan budaya Aceh masa lalu, dan kontribusi budaya Aceh dalam pembangunan budaya nasional.

Tidak ada penjelasan yang tuntas tentang penghayatan estetika Muzakir Walad sampai dengan hari ini, maklum ia hanya seorang Letnan Kolonel TNI dan punya sedikit pengalaman bisnis yang kemudian menjadi gubernur.

Namun menurut catatan beberapa saksi dan pemerhati perhelatan kebudayaan, PKA II adalah sebuah event yang secara substansi dinilai sangat cemerlang  menampilkan sejarah dan berbagai aspek budaya dan seni dari seluruh Aceh, walaupun dengan anggaran yang sangat minim dan pergelaran yang relatif sederhana.

Fondasi yang dibangun Hasyimi dalam masa konflik yang belum selesai, kemudian digali dan ditata kembali oleh Muzakir Walad.

Dalam sebuah percakapan pribadi dengan penulis, Nurdin AR, mantan anggota DPR-RI dan mantan bupati Pidie yang pada saat itu ikut aktif dalam PKA II menggunakan istilah “resurrection”-kebangkitan kembali seni dan budaya Aceh setelah Aceh mengalami perang panjang dan konflik sosial; perang  Belanda, Jepang, Persitiwa Aceh, DI/TII,dan  G30S PKI.

Nurdin menyebutkan semangat menyelamatkan budaya Aceh oleh Hasyimi, kini terwariskan dengan baik kepada Muzakir Walad.

Dalam konteks budaya dan seni, Walad rupanya tidak selesai hanya dengan PKA II.

Ternyata ia tahu bahwa estitika tidak hanya berurusan dengan keindahan dan berada di luar manusia, tetapi lebih dari itu estetika ada di dalam manusia itu sendiri.

Baginya, estetika adalah objek budaya yang bersifat indrawi, baik dalam bentuk interaksi dialogis bahkan dialektis antara manusia dengan bebagai gejala estetis dalam pengalaman sosialnya.

Karenanya apapun estetika Aceh yang pernah ada, dan telah hilang atau tenggelam mesti digali dan dihidupkan kembali.

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Menyaksikan Seniman Bertasbih dan Berzikir (I)

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Menemukan Kembali Aceh di Amerika Serikat (II)

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Kasab Meulaboh, Ibunda, dan Ikon Etnis (III)

Menggembirakan Rakyat

Dalam keadaan keuangan yang sangat terbatas, tidak banyak yang bisa dikerjakan Walad pada saat itu, selain mendukung penuh dihidupkan kembali berbagai kesenian rakyat.

Halaman
1234

Berita Terkini