Kupi Beungoh

Quo Vadis Mahkamah Syar’iyah di Aceh

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dra. Hj. Rosmawardani, S.H., M.H, Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh.

Janganlah lembaga ini (Mahkamah Syar’iyah) hanya menjadi model dari upaya penyelesaian konflik Aceh yang bermartabat, tetapi tak mampu dimodali dan menjadi modal kepada generasi Aceh kedepan tentang wujud dari eksistensi yang sudah diperjuangkan tapi tak mampu dijaga dan dirawat serta dilestarikan oleh kita generasi dalam menjaga eksistensi pembangunan hukum Islam di Aceh.

Ditambah lagi malah kita menegasi lembaga ini dengan bentuk nyata yaitu pengabaian dari wujud dukungan Pemerintah Aceh dan dukungan kabupaten kota.

Sebagai bagian dari saksi sejarah dari perencanaan hingga implimentasi lahirnya Mahkamah Syar’iyah Aceh.

Perlu kiranya membagi ingatan dan peringatan bagi semuanya stake holders di provinsi Aceh. Supaya setiap gagasan sejarah tidak berulang menjadi dongeng untuk gerasi Aceh kedepan.

Bahwa sejarah ihwal lahirnya Mahkamah Syar’iyah Aceh bermula dari cita-cita integrasi holistik implementasi Syariat Islam.

Syariat Islam tidak jauh berbeda dengan sistem hukum lainnya.

Penegakan syariat Islam dapat menentramkan dan memberi kenyamanan tenta sebuah rasa bagi hukum terhadap masyarakat di Provinsi Aceh.

Baca juga: Mahkamah Konstitusi Percayakan UIN Ar-Raniry untuk Evaluasi Putusan UU Perkawinan dan Otonomi Daerah

Baca juga: Peneliti Restorative Justice Working Group (RJWG) Kunjungi Mahkamah Syar’iyah Jantho, Ada Apa?

Solusi Konflik

Harus disadari oleh generasi saat ini bahwa kehadiran Mahkamah Syar’iyah Aceh adalah perjuangan berdarah-darah dan penuh peluh dan air mata.

Mahkamah Syar’iyah Aceh menjadi lembaga keistimewaan solusi dari dari salah bentuk dan wujud penyelesaian konflik Aceh terkhusus dalam persoalan yudikatif.

Nah, untuk itu, Pemerintah Aceh dan DPR Aceh sudah sepatutnya bangun dari tidur yang berkepanjangan.

Sejak dibentuk dari tahun 2003 hingga sekarang, kami belum melihat bentuk nyata dan tegas dari Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota, tentu harus ikut serta menyanggupi kebutuhan anggaran yang diperlukan dalam upaya optimalisasi tugas dan fungsi serta menjaga eksistensi Mahkamah Syar’iyah dan menyenangkan masyarakat.

Tak elok lah bila beban tugas pemerintah Aceh dibebankan kepada DIPA (daftar isian pelaksaaan anggaran) dibebankan pada DIPA Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Hal ini berbeda dengan Provinsi Papua, dimana dana otomatis menyertai dari setiap lembaga keistimewaannya dalam otonomi Provinsi Papua.

Apakah kita Aceh mau kalah dengan Papua?

Halaman
1234

Berita Terkini