Kupi Beungoh

Legasi Teungku di Yan, dari Tgk Muhammad Irsyad, Tgk Chik Umar Bin Auf, Hingga Abu Hasan Krueng Kale

Editor: Muhammad Hadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tgk Fathurracman bin Mohd Amin, Tokoh Aceh di Malaysia

Oleh: Tgk Fathurracman bin Mohd Amin *)

Yan adalah sebuah kota kecil dan daerah dalam negara bagian Kedah yang terletak sekitar 58 km dari kota Alor Star, ibu kota negara bagian Kedah dan berjarak 30 km dari kota Sungai Patani.

Daerah ini agak terkenal di utara semenanjung karena terdapat banyak tempat peranginan dan rekreasi yang menarik untuk menghilangkan ketegangan pada hujung minggu, seperti Gunung Jerai, pusat peranginan Air Terjun Titi Hayun, Air Terjun Puteri Mandi, Alur Naga dan lainnya.

Bagi orang Aceh, Yan sangat unik dan istimewa karena di daerah ini terdapat banyak kelompok etnis keturunan Aceh sehingga ada sebuah perkampungan yang dikenali dengan Kampung Acheh yang berjarak 2 kilometer dari kota Yan.

Kawasan ini yang sebelumnya dikenali sebagai ‘Lubok Boi’ kemudian bertukar menjadi Kampung Acheh setelah ramai perantau dari Aceh yang menetap di kampung ini pada akhir abad ke 19.

Penghijrahan secara berkelompok ini terjadi akibat tekanan perang Belanda yang dilancarkan terhadap Aceh pada tahun 1873.

Kaum ulama adalah pelopor gelombang pertama yang berhijrah ke sana, kemudian diikuti oleh para pedagang.

Ketika Belanda melancarkan perang terhadap Aceh, para ulama dayah sangat gigih menggerakkan rakyat untuk berjihad melawan ‘kaphe Belanda’.

Oleh karena itu, kehidupan para ulama dan dayah ketika itu menjadi sasaran tekanan pihak Belanda sehingga ramai ulama yang tidak dapat lagi mengajar dan banyak dayah terpaksa ditutup.

Faktor inilah yang mendorong ulama berhijrah ke Yan.

Oleh karena itu, ketika sudah berada Yan perkara utama yang diusahakan adalah mendirikan sebuah dayah.

Dayah ini kemudian sangat terkenal di Aceh dan menjadi tumpuan pelajar Aceh yang ingin memperdalam ilmu agama.

Baca juga: Dua Alquran Berusia 600 Tahun dan Dinar Emas di Kampung Aceh Malaysia Selamat dalam Banjir Bandang

Pelajar dari Aceh yang hendak melanjutkan pengajian ke India dan Makkah lebih dahulu singgah di sini untuk membuat persiapan yang lebih matang.

Diantara ulama Aceh yang pernah menetap, mengajar dan belajar di Yan adalah:

I. Teungku Muhammad Irsyad Ie Leubeu

Beliau yang digelari juga dengan ‘Teungku di Balee’ berasal dari Gampung Ie Leubeu, Kembang Tanjong, Pidie, diperkirakan lahir sekitar tahun 1850-an.

Sejak kecil adalah seorang pelajar yang sangat cerdas dan rajin.

Setelah mengaji ilmu agama di beberapa dayah di Aceh beliau pergi ke Makkah untuk melanjutkan pelajaran dan memperdalam ilmu keislaman di pusat pengajian Islam Masjidil Haram.

Setelah menimba ilmu dengan ulama-ulama besar di Masjidil Haram beliau pulang ke kampungnya, Ie Leubeu dan membuka dayah untuk mengembangkan ilmu yang telah dipelajari kepada masyarakat di Aceh.

Namun situasi Aceh saat itu yang sedang menghadapi perang dengan Belanda menyebabkan dayahnya tidak dapat berjalan dengan baik.

Oleh sebab itu beliau serta pengikutnya berhijrah ke Yan dan menetap di Kampung Acheh.

Menurut cerita orang tua Kampung Acheh, kumpulan Teungku Muhammad Arsyad Ie Leubeu adalah yang paling awal menetap di kampung ini.

Sesudah itu menyusul Teungku Haji Musa (Teungku Lam Surau), Teungku Syaikh Umar Bin Auf Lam U (Teungku Umar di Yan) dan Teungku Muhammad Saleh Lambuek.

Pada tahun 1902 Teungku Muhammad Arsyad mengasaskan sebuah dayah yang bernama Madrasah Irsyadiyah Addiniyah.

Dayah ini menjadi pusat pendidikan ilmu agama yang sangat terkenal saat itu.

Ramai santri baik yang datang langsung dari Aceh atau anak keturunan orang Aceh yang sudah menetap di tanah Melayu dan juga anak penduduk tempatan yang belajar ilmu agama di dayah ini.

Setelah beberapa tahun menetap di Kampung Acheh, Yan dan dayah telah berjalan dengan baik karena telah merpersiapkan generasi penerus, Teungku Muhammad Arsyad mewariskan dayah ini untuk diteruskan oleh murid-murid didikannya.

Beliau dan keluarga kembali ke kampung asalnya. Sayang catatan dan data tentang tokoh ulama yang sangat berjasa dalam mendidik kader ulama Aceh ini sangat kurang dan susah didapatkan.

Baca juga: Solidaritas Saudagar Aceh di Malaysia, Menata Kembali Kampung Acheh yang Porak Poranda

II. Teungku Chik Umar Bin Auf Lam-U (Teungku Umar Di Yan)

Salah seorang ulama besar Aceh yang berhijrah ke tanah Melayu akibat tekanan perang Belanda adalah Teungku Chik Umar Bin Auf Lam-u.

Beliau adalah pendiri Dayah Lam-u, Montasik, sebuah dayah yang sangat berpengaruh di Aceh Besar pada masa Sultan Alauddin Mahmud Syah (1870-1873).

Ulama ternama yang ahli dalam ilmu fikih dan hafiz al-Qur’an ini diiperkirakan tiba di Yan bersama anaknya, Teungku Abdul Hamid sekitar tahun 1895.

Beliau juga terkenal dengan panggilan Teungku Chik Umar di Yan karena pada akhir hidupnya menetap dan meninggal di Yan.

Ulama mujahid ini mempunyai empat orang putra dan semua mengikuti jejak perjuangannya menjadi ulama besar dan tokoh panutan masyarakat yang sangat berpengaruh, baik di Aceh mahupun di Yan.

Keempat putranya adalah:

1). Teungku Ahmad Hasballah

Teungku Ahmad Hasballah yang lebih dikenali dengan Abu Indrapuri lahir di gampong Lam-u pada 3 Juni 1888.

Setelah belajar ilmu agama dengan ayahnya dan di beberapa dayah di Aceh, beliau melanjutkan pengajian ke Yan.

Setelah lima tahun belajar di Yan, pada tahun 1010 beliau melanjutkan pelajaran ke pusat pendidikan Islam Masjidil Haram Makkah.

Tahun 1915 beliau kembali dan mengajar di Dayah Yan.

Abu Indrapuri dikenal memiliki daya nalar cukup kuat sehingga beliau mampu menguasai bahasa Arab dengan baik dan juga mendalami pelbagai bidang ilmu Islam lainnya seperti ilmu al-Qur’an, Fikih, Tauhid, Tasawuf, Tafsir, Hadis dan Sejarah Islam.

Oleh karena itu, musyawarah besar pemimpin dan ulama Aceh pada tahun 1922 yang dihadiri oleh Tuwanku Raja Keumala, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, Teungku Haji Ismail Eumpeu Trieng dan Abu Abdullah Lam-u, atas saran Teungku Hasan Kreung Kalee memilih beliau untuk memimpin Dayah Indrapuri.

Dayah Indrapuri adalah salah satu pusat pendidikan Islam terkemuka di Aceh yang didirikan sejak zaman Sultan Iskandar Muda yang telah terhenti aktivitasnya akibat perang.

Abu Indrapuri adalah seorang ulama reformis yang berpengaruh di Aceh, sangat peduli kepada pendidikan umat dan juga aktif dalam politik.

Pernah menjadi Qadhi, Ketua Mahkamah Syariyah, Ketua Majlis Fatwa, ketua Majlis Syura PUSA dan terlibat aktif dalam Gerakan DI TII.

Pada akhir hayatnya beliau hijrah kembali ke Yan dan meninggal dunia disana pada 26 April 1959.

2). Teungku Abdullah Bin Umar (1888-1967)

Teungku Abdullah Bin Umar dikenal sebagai Abu Lam-u.

Belajar ilmu agama bersama ayahnya dan Dayah Piyeung, Montasiek, kemudian beliau melanjutkan pelajaran ke Yan dan berguru kepada Teungku Muhammad Arsyad.

Tahun 1924 Abu Lam-u melakukan pengembaraan intelektual ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama selama enam bulan.

Putra Teungku Chik Umar ini kemudian berkhidmat mengembangkan ilmu kepada masyarakat dan mengelola dayah ayahnya di Lam-u.

Beliau pernah menjabat sebagai qadhi pada masa Panglima Polem Muhammad Daud, aktif dalam organisasi PUSA, Syarikat Islam (SI) dan memiliki andil besar dalam pembaharuan pendidikan di Aceh.

Abu Lam-u adalah seorang tokoh ulama kharismatik yang sering kali diundang dalam setiap pertemuan besar yang dilaksanakan oleh pemerintah, seperti peletakan batu pertama berdirinya Kopelma Darussalam yang dilakukan oleh Presiden Soekarno pada 2 September 1959.

3). Teungku Abdul Hamid

Teungku Abdul Hamid yang lebih dikenali dengan Teungku Chik Aneuk Batee lahir tahun 1894.

Beliau belajar ilmu agama di Dayah Yan kemudian melanjutkan pendidikan ke Makkah selama 12 tahun.

Sekembalinya dari Makkah, Teungku Abdul Hamid tidak langsung pulang ke Aceh tapi terlebih dahulu menetap di Yan.

Beliau sempat mengajar beberapa tahun di Yan dan mendirikan Sekolah Agama Attarbiyah Al-Auladiyah Addiniyyah bersama Teungku Abdul Jalil Lamno.

Beliau kemudian pulang ke Aceh dan  mendirikan dayah di Niron, Sibreh.

4). Teungku Muhammad Dahhan

Teungku Muhammad Dahhan lahir 1891 adalah anak Teungku Chik Umar di Yan yang tidak pulang ke Aceh akan tetapi terus menetap dan mengajar di Yan sehingga akhir hayatnya.

Baca juga: Ratusan Siswa Dayah Oemar Diyan Jajaki Tempat Kuliah ke Malaysia dan Jawa

III. Teungku Muhammad Hasan Krueng Kale (Abu Krueng Kale)

Beliau lahir di tempat pengungsian di Meunasah Keuteumbue, Sanggeu, Pidie pada 18 April 1886.

Ayahnya, Tgk Haji Muhammad Hanafiah adalah seorang ulama dan pejuang yang bersahabat rapat dengan Teungku Chik di Tiro.

Setelah belajar ilmu agama dengan ayahnya dan di beberapa dayah Aceh, pada tahun 1906 dalam usia 19 tahun beliau melanjutkan pelajaran ke dayah Madrasah Irsyadiyah Addiniyyah, Yan.

Abu Hasan Krueng Kalee adalah murid angkatan pertama dayah ini bersama Abu Ahmad Hasballah Indrapuri dan Abu Abdullah Lam-U.

Setelah empat tahun belajar di sini, tepatnya tahun 1910, beliau berangkat ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama dengan beberapa ulama besar di pusat pengajian Islam Masjidil Haram.

Selain menguasai ilmu agama, beliau juga menguasai ilmu falak (astronomi) yang dipelajarinya dari seorang pensiunan jenderal khilafah Turki Usmani yang menetap di Makkah.

Hal ini menjadikan nilai plus kepada beliau dan ulama alumni dayah Krueng Kalee.

Setelah menamatkan pengajian di Masjidil Haram, beliau balik semula ke Yan dan berkhidmat mengajar beberapa tahun di sana.

Pada tahun 1916, gurunya, Teungku Muhammad Arsyad Ie Leubeue menjodohkan beliau dengan seorang gadis keturunan Aceh asal Merbok, Kuala Muda, Kedah, Nyak Safiah Binti Husein Bin Ahmad.

Atas semangat ingin berkhidmat untuk memajukan kembali dayah Aceh dan memenuhi panggilan pamannya, Teungku Muhammad Said, tahun 1917 Teungku Hasan pulang ke Aceh dan mengabdi di Dayah Meunasah Baro pimpinan pamannya.

Tidak lama kemudian, beliau membuka dayahnya sendiri di Gampong Krueng Kalee, Kemukiman Siem, Darussalam.

Dayah ini kemudian berkembang pesat dan menjadi tumpuan santri dari seluruh Aceh.

Akan tetapi sekitar tahun 1924-1927 atas faktor keamanan, beliau beserta isteri dan tiga anaknya, yaitu Tgk Ghazali, Syekh Marhaban dan Fatimah Syam balik semula ke Yan.

Karena pihak pemerintah Belanda mencurigainya menyokong mujahidin Aceh setelah ditemukan ‘boh keumeurah’ (sejenis granat) di kompleks dayahnya.

Tahun 1927 beliau dan keluarganya pulang lagi ke Aceh untuk meneruskan kembali dayahnya.

Ramai murid Abu Hasan Krueng Kalee kemudian menjadi ulama dan mendirikan dayah di daerahnya masing-masing.

Di antara murid Abu Hasan Krueng Kalee yang paling terkenal adalah Abuya Syaikh Muhammad Waliy al-Khalidi, Labuhan Haji, Aceh Selatan, Tgk Adnan Bakongan, Tgk Haji Said Sulaiman (mantan Imam Masjid Raya Baiturrahman), Teungku Sulaiman Lhok Sukon, Tgk Yusuf Kruet Lintang, Tgk Muhammad Mahmud Blang Blahdeh (ayah Abu Tu Min), serta Tgk Ahmad Arabi dan Tgk Muhammad Amin, pendiri Dayah Bustanul Maarif Reubee.

Prof Dr Tgk Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy dan Prof Ali Hasjmi juga pernah belajar di Dayah Abu Hasan Krueng Kale ini.

Beliau kembali ke Rahmatullah pada malam Jum’at, 14 Zulhijjah 1392H, (15 Januari 1973) dalam usia 87 tahun.

Kampung Acheh, Yan telah memberikan konstribusi yang sangat besar terhadap pendidikan Islam Aceh.

Pada saat sebagian wilayah Aceh dapat dikuasai oleh Belanda, beberapa tokoh ulama Aceh atas izin dari pimpinan gerilya berhijrah ke Yan dan menjadikannya sebagai pusat pendidikan Islam.

Dayah Yan sangat sukses menghasilkan sejumlah ulama besar berkualitas tinggi yang kemudian melanjutkan kembali dayah di Aceh untuk mendidik kader ulama.

Karena itulah di Aceh satu masa dahulu ramai ulama yang digelar dengan ‘Teungku Di Yan.

Yang menarik kader ulama Yan terbagi dalam dua yaitu ulama Ahlussunnah waljamaah kaum tua (tradisionalis) dan ulama Ahlussunnah waljamaah kaum muda (reformis).

*) PENULIS adalah Tokoh Masyarakat Aceh di Malaysia

KUPI BEUNGOH adalah rubrik pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis

Berita Terkini