Selama di Sumedang, Tjoet Njak Dhien mengajar ngaji kepada anak-anak setempat. Orang-orang setempat memanggil Tjoet Njak Dhien dengan Ibu Prabu.
Baca juga: KRI Teuku Umar-385 ikut Operasi Amfibi di Laut Natuna Selatan
Menurut Indra Iskandar, Tjoet Njak Dhien ketika itu hanya menguasai bahasa Arab dan bahasa Aceh, untuk berkomunikasi harus melalui penerjemah.
Masyarakat Sumedang, baik kalangan birokrasi maupun kalangan kerajaan Sumedang merasa sangat dekat dengan Aceh.
Rencong peninggalan Tjoet Njak Dhien dijaga dan dirawat dengan baik oleh pihak keraton Sumedang.
Ini disampaikan sendiri oleh Paduka Yang Mulia Sri Raja Sunda di Keraton Sumedang.
“Dari foto-foto yang diperlihatkan kepada kita, adalah belasan rencong dalam berbagai ukuran dan bentuk milik Tjoet Njak Dhien yang mereka simpan dan jaga dengan baik,” ujar Indra Iskandar.
Baca juga: 3 Eksekutor Anggota TNI di Pidie Dibidik Pasal Berlapis, Senjata Digunakan Peninggalan Konflik Aceh
Tjoet Njak Dhien pahlawan nasional asal Aceh merupakan anak dari Teuku Nanta Setia, lahir di Aceh Barat pada tahun 1848.
Ia diasingkan oleh Belanda pada 1906, karena tak mau tunduk kepada Belanda.
Pang Laot, panglima perang dalam pasukan gerilyawan pimpinan Tjoet Njak Dhien, menyerahkan Tjoet Njak Dhien pada Belanda karena merasa tak tega atas sakit dan keletihan yang diderita perempuan perkasa itu.
Pang Laot meminta pada Belanda agar memberikan perawatan yang baik bagi wanita mulia itu.
Tapi Belanda mengkhianati permintaan Pang Laot dan sebaliknya membuah Tjoet Njak Dhien ke luar dari Aceh.(*)
Baca juga: Harga Emas Per Mayam Hari ini, Permintaan Emas Meningkat di Pidie