Pusat peribadatan atau Vihara Pusong Telaga Tujuh, sewaktu masih maju dan banyak pedagang orang Tionghoa, dan fasilitas sarananya sama halnya dengan Vihara lainnya.
Baca juga: Anggota Satgas Nemangkawi Bharatu Bachtiar Ditembak KKB Papua, Korban Luka Tembak di Punggung Kiri
Vihara ini juga tersedia sarana-sarana yang lengkap yaitu, pertama, ada pekong sebagai patung sesembahan umat Budha dan perantara untuk menghadap tuhannya serta memohon ampun atas segala dosa dan meminta sesuatunya.
Patung hanya perantara saja, tetapi tuhannya tidak dapat dilihat.
Dua, tempat pembakar kertas berada kiri dan kanan pintu masuk teras, fungsinya setiap pengunjung yang mau beribadah harus membakar kertas yang telah disediakan.
Tiga, tempat pembakaran kemenyan terletak samping pembakaran kertas namanya “Heau”.
Empat, patung Dua Singa, terletak sebelah kiri dan kanan pintu masuk teras sebagai penjaga dikenal “Apek Kuang” (Ketua Pekong) dan Dewi “Dewi Kuan In” (Permaisuri)
Lima, kuburan keramat “Datok Pujoe Putih” sebagai sarana pemujaan umat Budha, diberi tanda bendera warna merah, satu gelas air putih, dua cangkir dan gunanya untuk minum datuk, ketika sewaktu-waktu pulang datuk. Tempat ini khus untuk beribadah malam Jumat.
Enam, tersedia tempat persembanyangan laki-laki bagian kiri dan wanita bagian kanan. tujuh, pembakar lilin bewarna merah darah di depan pintu masuk ke Vihara, mulai dari alur pinggiran pantai setiap malam Minggu.
Delapan, ada patung ular Naga, yang terletak di atas atap sebagai pelambang ciri khas rumah ibadah umat Budha.
Kemudian dari hal tersebut, Tim peneliti Sejarah Universitas Samudra juga wawancara dengan Ketua Pangayuban Sosial Masyarakat Tionghoa Indonesia (PSMTI) Cabang Langsa dengan Afuk.
Baca juga: FAKTA Anggota TNI AD Tewas Dikeroyok di Jakarta Utara, Enam Orang Diduga jadi Pelaku, Satu Ditangkap
Sesuai keterangan Afuk, bahwa Vihara Pusong Telaga Tujug, benar memang salah satu aset warga Tionghoa, selain Idi, Langsa dan Kuala Simpang, dan warisan leluhurnya tempo dulu.
Itu adalah aset kebersamaan, bukan hanya milik orang Tionghoa tetapi aset Pemerintah Kota Langsa dan bisa dijadikan pusat pariwisata bahari untuk mendukung perekonomian masyarakat kota Langsa.
Dulu pernah sekali pada tahun 1980-an, ia bersama warga Tionghoa lainnya mengadakan kunjungan dan melakukan pembersihan massal.
Merekaa berangkat ke Pusong menggunakan kereta api (Atjehtram) Pulo Rawa, lalu baru menuju ke Pusong dengan naik Tongkang.
Bahkan Pusong itu pasat para pelayaran, tatkala orang Tionghoa masih ramai bersama dengan orang asal Pidie dan Aceh lainnya yang bermukim di pulau tersebut.
Tetapi ketika peristiwa ganyang Malaysia, sebagian besar warga Tionghoa hijrah atau pindah dari Pusong pada kala itu. (*)
Baca juga: Bara JP Aceh Dukung Adli Abdullah Sebagai Calon Pj Gubernur Aceh