Sedangkan, di gamponggampong, ini hanya bisa terjadi apabila si ibu membawa anaknya ke Puskesmas atau Posyandu untuk ditimbang dan diukur tingginya.
Kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi adalah si ibu tidak datang ke Puskesmas sehingga anaknya tidak ditimbang dalam bulan tersebut, dan akhirnya yang terlaporkan adalah angka ratarata meskipun ada beberapa bulan datanya missing alias tidak ada.
Bahkan di tingkat global pun, acap kali data yang digunakan adalah data survei rumah tangga yang pengumpulannya dilakukan untuk jangka waktu tiga sampai lima tahun sekali.
Pemerintah Aceh seharusnya cukup jeli dengan hal ini, mengingat ini akan berdampak terhadap penilaian komitmen pemerintah dalam upaya penurunan stunting di Aceh, paling kurang pemerintah harus memiliki perhatian khusus untuk data-data ini mulai dari proses pencatatan sampai kepada pelaporan.
Program-Program Inisiatif dan Inovatif Mulai dari program nasional seperti program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang mebantu keluarga miskin Indonesia dalam mengakses kebutuhan pangan pokok sampai kepada program daerah seperti Geunting (Gerakan Untuk Stunting) di Aceh, dan program di tingkat kabupaten/kota seperti di Sabang ada Program Gerakan Untuk Anak Sehat (Geunaseh) membutuhkan evaluasi tahunan guna melihat apakah program tersebut berhasil memperbaiki asupan gizi anak dan menurunkan angka stunting atau tidak.
Hal ini tidak lain dilakukan guna mengefektifkan setiap uang yang telah digelontorkan untuk program-program tersebut.
Beberapa program inisiatif dan inovatif lainnya yang telah berhasil dilakukan di daerah-daerah lain pun, patut untuk dicoba dan diterapkan di Aceh, apalagi kalau program tersebut sudah terbukti cukup efektif dalam menurunkan angka gizi buruk dan stunting.
Baca juga: ASNI: Gizi Sehat untuk Cegah Stunting, Nutrisionis Perlu Berinovasi
Beberapa program inisiatif misalnya aturan membawa bekal makanan sehat ke kantor yang menyasar ibu-ibu pekerja kantoran yang sedang hamil untuk mencukupi kebutuhan asupan gizi yang baik untuk janin ibu.
Di satu sisi legislasi yang tertuang dalam Peraturan Gubernur nomor 14 tahun 2019 terkait imbauan pelaksanaan upaya penurunan stunting di Aceh bisa disandingkan dengan aturan hukum lainnya seperti legislasi yang mendukung produksi makanan lokal yang kaya gizi untuk disajikan dirumah ataupun di kantor, begitu pula aturan dalam hal pendistribusiannya makanan untuk masyarakat harus dijaga keamanannya dan memastikan berada pada tingkat harga yang terjangkau untuk semua kalangan.
Apabila selama ini kita dapati ada pasar murah untuk makanan pokok menjelang Ramadhan, mungkin harga murah barang subsidi juga bisa diterapkan untuk susu ibu hamil dan makanan bernutrisi dan berprotein lainnya yang langsung dapat menyasar bayi, ibu hamil, dan anak-anak.
Dengan ini, maka masyarakat akan memiliki akses dan dapat memenuhi kadar gizi yang dibutuhkan oleh mereka.
Teknologi terbarukan untuk pemeriksaan dini calon bayi atau bayi dengan potensi stunting juga dibutuhkan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas, apabila ada bayi dan calon bayi dengan potensi stunting maka dengan deteksi dini ini, upaya penyembuhannya pun dapat dilakukan lebih cepat dan tepat.
Sehingga akhirnya apabila pemerintah Aceh telah menjamin dan mengupayakan cakupan asupan gizi seimbang bayi, calon bayi dan anak serta mengupayakan cakupan imunisasi dasar lengkap, sanitasi yang baik, cakupan ASI eklusif, maka penulis sangat yakin cita-cita pemerintah Aceh untuk dapat menurunkan angka stunting menjadi di bawah 17% akan dapat tercapai segera.InsyaAllah!
Baca juga: Cuma Makan Nasi Kotak Jelang Lawan Thailand, Skuad Timnas Indonesia Kekurangan Nutrisi dan Gizi
Baca juga: UNICEF Dorong Replikasi dan Keberlanjutan Pengentasan Malnutrisi Anak dan Ibu di Aceh