Opini

Nutrisi untuk anak Aceh, Sudahkah Cukup?

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Hanifah Hasnur, SKM, MKM Co-Founder Center for Health Financing Studies and Initiative Programs (CHFSIP) dan Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Aceh

SETIAP 25 Januari merupakan hari peringatan nasional untuk upaya pemenuhan gizi anak Indonesia oleh Kementerian Kesehatan dan seluruh elemen yang konsen terhadap pemenuhan gizi anak Indonesia.

Oleh karena itu, di momen Hari Nutrisi Nasional ini sudah sepatutnya pemerintah mengevaluasi kembali upayaupaya yang telah dan sedang dilakukan dalam rangka menurunkan jumlah anak pendek (stunting), kurus (wasting), berat badan kurang (underweight), gizi kurang (marasmus dan Kwashiorkor) atau bahkan berat badan berlebih (overweight) yang masih tinggi di Indonesia.

Bulan Maret tahun 2019 yang lalu, Serambi Indonesia melansirkan angka yang cukup mengejutkan, Aceh menduduki urutan ketiga dengan jumlah anak stunting tertinggi di Indonesia.

Total ada 37,3% anak-anak balita di Aceh bertubuh pendek, ini berarti di antara 10 anak balita di sebuah kampung di Aceh, 3 sampai 4 balita di antaranya bertubuh pendek.

Cukup fantastis bukan? Angka ini sendiri masih menjadi perdebatan di kalangan pentugas gizi di Puskesmas, bahkan kader di desa yang menjadi penyambung untuk program-program yang diusung pemerintah Aceh, masih mempertanyakan apakah benar adanya, jumlah anak dengan status stunting di Aceh sejumlah yang sering disebut-sebut tersebut.

Pentingnya Akurasi Data Di tengah hiruk pikuk program “Geunting” yang diusung pemerintah Aceh untuk penurunan angka stunting di Aceh melalui program Rumoh gizi, pemerintah Aceh tidak boleh abai terhadap kualitas data pencatatan jumlah anak dengan kategori stunting di gampong-gampong di Aceh.

Ini menjadi penting, karena angka-angka inilah yang akan menjadi indikator keberhasilan upaya penurunan angka stunting di Aceh.

Baca juga: Selain Olahraga, Penting Mempraktikkan Kebiasaan Nutrisi Baik dalam Kehidupan Sehari-hari

Baca juga: Suplemen Makanan Aman dan Bermanfaat Untuk Membantu Individu Memenuhi Kebutuhan Nutrisi

Selama ini pengukuran gizi dilakukan dengan ukuran persentil (cut off z score) untuk menggambarkan Indeks Masa Tubuh (IMS) anak.

Di sini yang dilihat adalah perbandingan tinggi dan berat badan anak berdasarkan usianya.

Grafik cut off z score dari WHO ini dirangkum dalam sebuah grafik yang disebut Grafik Pertumbuhan Anak (GPA).

Nah, grafik ini yang nantinya akan menjadi indikator untuk pengkategorian apakah status gizi seorang anak tergolong baik atau tidak, stunting atau bukan.

Padahal di Puskesmas sendiri jumlah tenaga gizi masih sangat kurang, meskipun ada tenaga kesehatan lainnya yang dilatih untuk melakukan pencatatan gizi anak di desa, namun apakah selama ini prosesnya sudah dilakukan dengan benar, sudah semestinya ditilik kembali.

Ditambah saat ini Puskesmas- Puskesmas yang merupakan unit pelaksana teknis kesehatan di bawah supervisi Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota memiliki peran lain yang tidak kalah pentingnya yaitu unit pelaksana BPJS dalam menyediakan pelayanan kesehatan pengobatan, dimana di dalamnya upaya pelaksanaan upaya kesehatan promosi dan pencegahan masih sangat kurang, sedangkan kita tahu bahwa jumlah tenaga kesehatan di Puskesmas sangatlah minim dan telah terkuras energinya untuk melaksanakan tugas- tugas dari BPJS.

Selain dari sisi petugas, kelemahan lainnya dari proses pencatatan angka anak stunting dan gizi buruk ini juga bisa terjadi karena kasus stunting dan gizi buruk merupakan kondisi akut dan datanya dapat berubah dengan mudah dan cepat bahkan dalam satu tahun berjalan.

Misalnya, kenaikan tinggi dan Berat Badan (BB) anak bisa saja berubah dari satu bulan ke bulan berikutnya, sedangkan data tinggi dan BB ini hanya bisa dilihat apabila si ibu menimbang dan mengukur tinggi anaknya setiap bulannya.

Baca juga: Hari Gizi Nasional, Ini 5 Nutrisi Penting yang Dibutuhkan untuk Usia 50 Tahun ke Atas

Sedangkan, di gamponggampong, ini hanya bisa terjadi apabila si ibu membawa anaknya ke Puskesmas atau Posyandu untuk ditimbang dan diukur tingginya.

Kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi adalah si ibu tidak datang ke Puskesmas sehingga anaknya tidak ditimbang dalam bulan tersebut, dan akhirnya yang terlaporkan adalah angka ratarata meskipun ada beberapa bulan datanya missing alias tidak ada.

Bahkan di tingkat global pun, acap kali data yang digunakan adalah data survei rumah tangga yang pengumpulannya dilakukan untuk jangka waktu tiga sampai lima tahun sekali.

Pemerintah Aceh seharusnya cukup jeli dengan hal ini, mengingat ini akan berdampak terhadap penilaian komitmen pemerintah dalam upaya penurunan stunting di Aceh, paling kurang pemerintah harus memiliki perhatian khusus untuk data-data ini mulai dari proses pencatatan sampai kepada pelaporan.

Program-Program Inisiatif dan Inovatif Mulai dari program nasional seperti program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang mebantu keluarga miskin Indonesia dalam mengakses kebutuhan pangan pokok sampai kepada program daerah seperti Geunting (Gerakan Untuk Stunting) di Aceh, dan program di tingkat kabupaten/kota seperti di Sabang ada Program Gerakan Untuk Anak Sehat (Geunaseh) membutuhkan evaluasi tahunan guna melihat apakah program tersebut berhasil memperbaiki asupan gizi anak dan menurunkan angka stunting atau tidak.

Hal ini tidak lain dilakukan guna mengefektifkan setiap uang yang telah digelontorkan untuk program-program tersebut.

Beberapa program inisiatif dan inovatif lainnya yang telah berhasil dilakukan di daerah-daerah lain pun, patut untuk dicoba dan diterapkan di Aceh, apalagi kalau program tersebut sudah terbukti cukup efektif dalam menurunkan angka gizi buruk dan stunting.

Baca juga: ASNI: Gizi Sehat untuk Cegah Stunting, Nutrisionis Perlu Berinovasi

Beberapa program inisiatif misalnya aturan membawa bekal makanan sehat ke kantor yang menyasar ibu-ibu pekerja kantoran yang sedang hamil untuk mencukupi kebutuhan asupan gizi yang baik untuk janin ibu.

Di satu sisi legislasi yang tertuang dalam Peraturan Gubernur nomor 14 tahun 2019 terkait imbauan pelaksanaan upaya penurunan stunting di Aceh bisa disandingkan dengan aturan hukum lainnya seperti legislasi yang mendukung produksi makanan lokal yang kaya gizi untuk disajikan dirumah ataupun di kantor, begitu pula aturan dalam hal pendistribusiannya makanan untuk masyarakat harus dijaga keamanannya dan memastikan berada pada tingkat harga yang terjangkau untuk semua kalangan.

Apabila selama ini kita dapati ada pasar murah untuk makanan pokok menjelang Ramadhan, mungkin harga murah barang subsidi juga bisa diterapkan untuk susu ibu hamil dan makanan bernutrisi dan berprotein lainnya yang langsung dapat menyasar bayi, ibu hamil, dan anak-anak.

Dengan ini, maka masyarakat akan memiliki akses dan dapat memenuhi kadar gizi yang dibutuhkan oleh mereka.

Teknologi terbarukan untuk pemeriksaan dini calon bayi atau bayi dengan potensi stunting juga dibutuhkan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas, apabila ada bayi dan calon bayi dengan potensi stunting maka dengan deteksi dini ini, upaya penyembuhannya pun dapat dilakukan lebih cepat dan tepat.

Sehingga akhirnya apabila pemerintah Aceh telah menjamin dan mengupayakan cakupan asupan gizi seimbang bayi, calon bayi dan anak serta mengupayakan cakupan imunisasi dasar lengkap, sanitasi yang baik, cakupan ASI eklusif, maka penulis sangat yakin cita-cita pemerintah Aceh untuk dapat menurunkan angka stunting menjadi di bawah 17% akan dapat tercapai segera.InsyaAllah!

Baca juga: Cuma Makan Nasi Kotak Jelang Lawan Thailand, Skuad Timnas Indonesia Kekurangan Nutrisi dan Gizi

Baca juga: UNICEF Dorong Replikasi dan Keberlanjutan Pengentasan Malnutrisi Anak dan Ibu di Aceh

Berita Terkini