Menteri Agama menambahkan, Surat Edaran ini turut ditujukan kepada Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), pimpinan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam, serta takmir/pengurus masjid dan mushalla di seluruh Indonesia.
Sebagai tembusan, edaran ini juga ditujukan kepada gubernur dan bupati/wali kota di seluruh Indonesia.
"Edaran ini agar menjadi pedoman dalam penggunaan pengeras suara di masjid dan mushalla bagi pengelola (takmir) masjid dan mushalla serta pihak terkait lainnya," tutup Menag.
'Ini Bersifat Pedoman dan Tak Mengatur Sanksi'
Surat Edaran (SE) Menteri Agama (Menag) tersebut merupakan pembaruan dari pedoman sebelumnya yang dirilis pada tahun 1978 yaitu Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor 101/1978 tentang Tuntutan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalka.
Baca juga: Polemik Mutasi 6 Pejabat Kemenag oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Lahir Perlawanan, Digugat ke PTUN
Meski banyak hal yang diatur, Kementerian Agama (Kemenag) memastikan SE tersebut bersifat pedoman dan tidak mengatur soal sanksi.
“Karena sifatnya pedoman, tidak ada sanksi," ujar Kepala Seksi (Kasi) Kemakmuran Masjid Kemenag, Fakhry Affan, kepada Tribunnews.com, Senin (21/2/2022).
Terkait pengawasan pelaksanaan pedoman ini, Fakhry mengatakan, sejauh ini Kemenag baru akan melaksanakan sosialisasi.
Mengingat pedoman ini baru saja dikeluarkan oleh Kemenag, Fakhry mengatakan, Kemenag akan melakukan pembinaan terhadap masjid-masjid di Indonesia.
"Kita sosialisasi dulu.
Ini kan baru keluar ya.
Kemenag sifatnya pembinaan," tutur Fakhry.
Terpisah, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Masjid Indonesia (DMI), Imam Addaruquthni, mengatakan, pihaknya mendukung pengaturan tentang penggunaan pengeras suara atau speaker di masjid dan mushalla.
Menurutnya, jumlah masjid di Indonesia sangat banyak.
Sehingga butuh pengaturan khusus mengatur tingkat kebisingan yang ditimbulkan dari pengeras suara masjid-masjid tersebut.