Tanpa terasa, butir-butir bening mengalir di pipi saat saya turun dari mobil menuju Masjid Rahmatullah diiringi dengan suara tangisan yang nyaris tak terbendung.
Ketika sedang larut dalam kesedihan, suara azan zuhur membuyarkan kenangan itu.
Kami bergegas menuju tempat wudu.
Alhamdulillah, perasaan saya mulai tenang.
“Kita berdoa untuk mereka,” kata suami saat berpisah di pintu masuk masjid menuju tempat shalat masing-masing.
Jamaah perempuan hanya dua saf, saya berdiri di saf pertama.
Suasana hening dan dingin membuat bacaan shalat terasa menusuk ke relung hati terdalam.
Seusai mengucapkan salam akhir shalat, air mata terus mengalir, rasa sedih dan haru berbaur menjadi satu.
Betapa tidak, ribuan bahkan ratusan ribu orang telah syahid, tetapi kita masih diberikan kesempatan untuk menjalani hidup ini di bawah lindungan-Nya.
Bacaan doa yang dibimbing oleh imam pun sangat menyentuh perasaan.
Tiada kata yang mampu terucap, selain rasa syukur yang tiada tara atas segala anugerah yang Allah berikan.
Setelah perasaan tenang, saya bangun dari tempat shalat dan berkeliling di dalam masjid.
Di sudut kecil bagian timur (belakang kiri) masjid ini sengaja ditinggalkan bengkalai atau puing masjid yang hancur diterjang tsunami.
Tidak direhab dan telah ditutup dengan pembatas kaca.
Di sini masih terdapat puing-puing untuk mengenang terjadinya tsunami: ada tiang yang roboh, besi yang bengkok, bongkahan tembok yang jatuh, meja kecil, sajadah, dan terumbu karang yang dibawa arus saat tsunami terjadi.