Dan Sofyan tidak hanya mengerjakan tugasnya di kementerian ATR-BPN untuk memenuhi target pemerintah semata.
Ia mengerjakannya dengan sepenuh hati.
Sofyan mengerjakan pekerjaan sertifikasi tanah untuk rakyat itu dengan penghayatan dan wawasan yang luar biasa, baik karena ia sendiri datang dari keluarga miskin, di Peureulak, Aceh Timur, maupun dari ketekunannya mempelajari tentang kemiskinan pedesaan.
Cobalah berdiskusi dengannya tentang gagasan Hernando de Soto, ekonom kondang Peru, tentang pentingnya “keberpihakan” negara untuk properti-tanah, rakyat kecil.
Sofyan sanggup memberi kuliah berjam-jam, dan mungkin berhari-hari tentang kenapa keberpihakan itu perlu dalam bahasa pasaran yang sangat sederhana.
Tidak heran, kalau wawasannya tentang pentingnya legalisasi tanah untuk rakyat kecil dan penugasan yang diberikan Presiden kepadanya menjadi energi besar bagi Sofyan untuk pecapaian jumlah terbesar penerbitan sertifikat sepanjang sejarah agraria Republik.
Sofyan tidak hanya berhenti dalam hal legalisasi lahan untuk rakyat.
Sofyan mengumumkan perang besar melawan mafia tanah di seluruh Tanah Air, dan ia melakukan itu dengan sangat sungguh-sungguh.
Ia tahu benar, para mafia itu menggunakan berbagai kekuatan, termasuk sejumlah unsur pemerintahan untuk merampok tanah rakyat, bahkan tanah negara sekalipun.
Para mafia itu dibuatnya kocar-kacir.
Kalaulah ada pihak yang berpesta pora terhadap pergantian Sofyan hari ini, satu di antaranya adalah para mafia tanah.
Kalaulah ada beberapa hal yang unik tentang Sofyan Jalil, dua di antaranya adalah perjalanan karirnya di kabinet yang relatif lama, dan keragaman kementrian yang ia jalani.
Ia melayani dua kepemimpinan nasional, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.
Sofyan menjabat dua kementerian pada masa SBY, dan tiga kementerian pada masa Presiden Jokowi.
Pada masa SBY Sofyan dipercayakan menjadi Menteri Negara Komunikasi dan Informatika ( 2004-2007) dan Menteri Negara BUMN (2007-2009).