Kupi Beungoh

Sofyan Jalil: Antara “Jok Lam Uteun” dan “Kunci Inggreh”

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kolase foto Sofyan Jalil dan Ahmad Humam Hamid.

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

DUA hari yang lalu, kebiasaan presiden Jokowi untuk reshufle kabinet kambuh lagi.

Tidak jelas alasannya, apakah karena kinerja menteri yang jelek, ataukah ada kepentingan politik lain, ataupun dua-duanya.

Terhadap kinerja yang jelek, publik semua sudah mafhum.

Bukankah Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, telah membuat negeri ini “aib besar” di mata publik internasional karena harga minyak makan yang “super mahal” di negara produsen nomor minyak makan nomor satu dunia?.

Tidak hanya aib yang dipertontonkan Lutfi.

Ia bahkan telah mempermalukan pemerintah Jokowi dengan membocorkan “rahasia negara”.

Yang dimaksud adalah betapa kartel minyak goreng nasional telah menjadi “monster” yang membuat pemerintah tak berdaya, sehingga berbagai aturan pemerintah tentang harga minyak goreng domestik dianggap sepi oleh para oligarkhi itu.

Berbeda dengan Lutfi, Sofyan Jalil punya cerita yang berbeda.

Sofyan justru menutup aib pemerintah.

Untuk pertama sekali dalam sejarah Republik, terjadi realisasi pasal 33 UUD 45 kolosal, terutama tentang komitemen negara menyerahkan sebagian “bumi”-tanah untuk kepentingan rakyat banyak secara resmi.

Apa yang dikerjakan Sofyan yang paling fundamental adalah menerbitkan puluhan juta sertifikat tanah rakyat.

Ketika Jokowi menjadi Presiden, jumlah sertifikat tanah yang dikeluarkan pemerintah selama 60 tahun semenjak merdeka adalah 46 juta sertifikat.

Di tangan Sofyan Jalil, hanya dalam tempo 6 tahun ia berhasil menaikkan angka itu menjadi 80,6 juta sertifikat tanah hak milik.

Ini adalah sebuah capaian Pemerintah Jokowi terhadap rakyat kecil, terutama di pedesaan yang sangat monumental.

Dan Sofyan tidak hanya mengerjakan tugasnya di kementerian ATR-BPN untuk memenuhi target pemerintah semata.

Ia mengerjakannya dengan sepenuh hati.

Sofyan mengerjakan pekerjaan sertifikasi tanah untuk rakyat itu dengan penghayatan dan wawasan yang luar biasa, baik karena ia sendiri datang dari keluarga miskin, di Peureulak, Aceh Timur, maupun dari ketekunannya mempelajari tentang kemiskinan pedesaan.

Cobalah berdiskusi dengannya tentang gagasan Hernando de Soto, ekonom kondang Peru, tentang pentingnya “keberpihakan” negara untuk properti-tanah, rakyat kecil.

Sofyan sanggup memberi kuliah berjam-jam, dan mungkin berhari-hari tentang kenapa keberpihakan itu perlu dalam bahasa pasaran yang sangat sederhana.

Tidak heran, kalau wawasannya tentang pentingnya legalisasi tanah untuk rakyat kecil dan penugasan yang diberikan Presiden kepadanya menjadi energi besar bagi Sofyan untuk pecapaian jumlah terbesar penerbitan sertifikat sepanjang sejarah agraria Republik.

Sofyan tidak hanya berhenti dalam hal legalisasi lahan untuk rakyat.

Sofyan mengumumkan perang besar melawan mafia tanah di seluruh Tanah Air, dan ia melakukan itu dengan sangat sungguh-sungguh.

Ia tahu benar, para mafia itu menggunakan berbagai kekuatan, termasuk sejumlah unsur pemerintahan untuk merampok tanah rakyat, bahkan tanah negara sekalipun.

Para mafia itu dibuatnya kocar-kacir.

Kalaulah ada pihak yang berpesta pora terhadap pergantian Sofyan hari ini, satu di antaranya adalah para mafia tanah.

Kalaulah ada beberapa hal yang unik tentang Sofyan Jalil, dua di antaranya adalah perjalanan karirnya di kabinet yang relatif lama, dan keragaman kementrian yang ia jalani.

Ia melayani dua kepemimpinan nasional, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.

Sofyan menjabat dua kementerian pada masa SBY, dan tiga kementerian pada masa Presiden Jokowi. 

Pada masa SBY Sofyan dipercayakan menjadi Menteri Negara  Komunikasi dan Informatika ( 2004-2007) dan Menteri Negara BUMN (2007-2009).

Pada masa Presiden Jokowi, Sofyan pernah menjabat sebagai Menko Bidang Perekonomian (2014-2015), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas (2015-2016), dan Menteri ATR-BPN (2016 2022).

Semua adalah sebuah prestasi yang tidak biasa, baik karena lamanya jam terbang, maupun beragamnya kementerian yang dipercayakan.

Tidak berlebihan untuk disebutkan, hampir tidak ditemui pada seorang anggota kabinet manapun dalam sejarah pemerintahan dan politk nasional pasca reformasi yang karirnya seperti Sofyan Jalil.

Ketika orang berkomentar tentang jabatan Sofyan Jalil yang sangat beragam, maka jawaban ringkas adalah bahwa ia mempunyai kepribadian unik dengan kapasitas “multi talenta” yang ia miliki.

Ia juga mempunyai ketertarikan yang tinggi terhadap banyak disiplin ilmu.

Secara pendidikan ia belajar banyak bidang, hukum, kebijakan publik, hukum diplomasi dengan perhatian khusus pada ekonomi internasional, hukum keuangan, dan permodalan internasional.

Ia memperoleh keahlian itu dari Fakultas Hukum Unversitas Indonesia.

Sofyan melanjutkan pendidikan pascasarjananya di salah satu universitas papan atas AS, yaitu Universitas Tufts di Boston Massachuset, AS.

Di kampus itulah Sofyan dengan sangat aktif mengikuti pendidikan yang menjadikannya mempunyau berbagai keahlian.

Baca juga: Sofyan Jalil Persempit Ruang Gerak Mafia Tanah, Terapkan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)

Baca juga: Sofyan Jalil Dukung Hibah Lahan 50 Ha untuk Unsam

Si Kunci Inggreh

Wapres Yusuf Kalla adalah orang yang paling membanggakan sosok Sofyan Jalil.

Ia menyebut banyak pujian kepada Sofyan.

Satu istilah yang dilekatkan kepada Sofyan oleh  Kalla adalah Sofyan itu ibaratnya kunci inggris atau dalam bahasa Aceh disebut kunci inggreh.

Berikan apapun jabatan kepada dia, dan Sofyan akan menyelesaikannya dengan baik.

Pada kesempatan lain, Kalla bahkan berani bertaruh, seandainya Kementerian Agama diberikan kepada Sofyan, ia akan sanggup mengerjakannya dengan cukup baik.

Ucapan Kalla tak salah.

Bayangkan saja kesuksesan yang ditunjukkan Sofyan ketika mengurus berbagai kementerian yang sama sekali tak mempunyai garis linear.

Ia menjabat 5 kementerian dalam masa 13 tahun.

Bayangkan saja keragaman dari berbagai kementerian; Komunikasi, BUMN, Menko Ekonomi, Ketua Bappenas, dan Menteri ATR-BPN.

Untung saja ia tidak ditunjuk menjadi Menteri Agama, padahal kemampuannya dalam ilmu-ilmu agama juga cukup lumayan, baik pengetahuan, maupun kepiawaunnya dalam berkhutbah dan berceramah.

Memang, dengan melihat berbagai atribut yang dimilkinya, klaim Kalla bahwa Sofyan “kunci inggreh” tak terbantahkan.

Baca juga: Jadi Pelajaran, Jangan Ada Lagi Korban Mafia Tanah, Nirina Zubir Ingatkan Pentingnya Komunikasi

Dua Cerita Menghadapi Godaan dan Tantangan

Ada banyak cerita tentang Sofyan yang menunjukkan prestasi dan kepiawainnya dalam mengarungi tantangan pekerjaan.

Ada dua cerita yang layak diceritakan sebagai contoh bagaimana Sofyan menghadapi godaan dan tekanan.

Ketika Sofyan menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika, pada saat itu ia juga menjadi anggota Tim Delegasi Indonesia untuk perundingan perdamaian dengan GAM pada tahun 2007.

Suatu hari datanglah seorang pengusaha muda dari salah satu group korporasi besar nasional yang bergerak di perbankan, properti, komunikasi, dan stasiun televisi.

Ia mendesak Sofyan untuk memberikan sebuah konsesi yang berada di bawah kewenangan Sofyan untuk perusahaannya.

Ketika Sofyan baru berbicara tentang aturan dan bahkan belum berbicara mengenai penolakan, namun si pengusaha itu langsung saja mengeluarkan mata uang tertentu yang bernilai 2 juta dollar.

Sambil tersenyum ia berkata “ini bantuan saya untuk keperluan kerja bapak mengurus perdamaian Aceh.”

Sofyan marah, dan marah besar.

Ia berdiri dan menyebutkan “ambil uangmu, keluar”.

Si pengusaha itu pucat, mengambil uangnya dan langsung keluar.

Ketika Sofyan mecnceritakan hal itu ke Yusuf Kalla, sang Wapres mengatakan “kenapa Sofyan ngak telpon saya, itu kan bisa jadi barang ke KPK.”  

Ada contoh lain tentang tekanan.

Ketika Sofyan sedang berada dalam perjalanan dinas ke New York, tiba-tiba ia mendapat telepon dari “individu kuat” Republik, hanya sedikit di bawah Presiden SBY, dan pihak itu bukan Wapres Yusuf Kalla.

Sofyan tahu, bahwa pihak itu pasti akan meminta Sofyan membatalkan pergantian CEO salah satu BUMN yang akan dilantik oleh bawahan Sofyan sekitar 2 jam lagi setelah percakapan telepon itu, pada hari itu.

Sofyan tidak hilang akalnya, dan keluarlah perangai Alue Lhok Peureulak yang sudah cukup lama tak terpakai.

Ia menjauhkan mulutnya dari telpon.

Ia menyebutkan tidak jelas suara telepon dari Jakarta itu, karena gangguan komunikasi satelit.

Taktik yang digunakan oleh CEO yang akan diganti dengan menggunakan tekanan”orang kuat” dalam kekuasaan tidak mempan.

Sang CEO diganti, dan Sofyan pulang ke Indonesia.

Rona wajahnya “tak berdosa” ketika ia bertemu dengan “orang kuat” itu.

Baca juga: Aceh Masih Bisa Terima Dana Otsus Usai 2027, Humam Hamid: Butuh Perjuangan Politik untuk Meraihnya

Akhir Pengabdian Sang Penjaga Masjid

Perlukan masyarakat Aceh marah dengan pergantian Sofyan, karena praktis tidak ada lagi putera Aceh dalam kabinet.

Tidak perlu, Sofyan tidak butuh itu, karena ia sudah cukup lelah dengan berbagai kedudukan dan jabatan yang diembannya selama belasan tahun.

Bahkan menurut sebuah sumber ketika Sofyan bertemu Presiden sebelum pergantian menteri, Presiden Jokowi menawarkan sebuah jabatan lain kepada Sofyan.

Dengan sangat sopan dan hormat Sofyan mohon izin dari Presiden untuk pensiun dari pemerintahan.

Apa yang perlu dicermati dari seorang Sofyan Jalil dan sangat perlu diceritakan kepada anak-anak, termasuk anak muda Aceh, adalah rangkaian rute kehidupan yang ditempuh oleh Sofyan untuk keluar dari kemiskinan dan mencapai apa yang diinginkannya.

Keteguhan, ketekunan, kerja keras, tak pernah mengeluh, dan doa orang tua adalah modal besar Sofyan yang membuatnya menjadi “orang” seperti hari ini.

Sofyan tak pernah menyembunyikan kepada siapapun bahwa ia datang dari keluarga yang sangat sederhana di Alue Lhok, Peureulak Aceh, Aceh Timur.

Ayahnya adalah seorang tukang pangkas, sementara ibunya adalah guru ngaji kampung.

Ia rajin bersekolah dan juga rajin berjualan telur untuk kehidupannya.

Ia aktif di organisasi PII, dan karena organisasi itulah ia ke Jakarta untuk mengukuti Kongres PII, dan setelahnya ia tak pulang.

Ia  kemudian mencari hidup di Jakarta.

Ia berjuang dengan berbagai pekerjaan kasar.

Dua pekerjaan yang sering disebutnya adalah menjadi “kernek KOPAJA”- angkutan umum Jakarta mulai awal  tahun tujuh puluhan, dan menjadi “ bileu meuseudjid”- Sofyan menyebutnya dengan istilah penjaga masjid.

Kadang, ketika ia berpidato, kadang berceramah, ia suka menyatakan siapa dirinya kepada publik.

Dia menyebutkan pakerjaan masa mudanya dengan istilah keren, “James” -maksudnya adalah jaga mesjid.

Kerasnya hidup dan perihnya berbagai pekerjaan yang dilakoninya tak membuat ia patah semangat.

Ia tetap bersekolah.

Ia memilih kuliah sore dan malam di Fakultas Hukum UI, karena ada pekerjaan yang mesti ditekuninya untuk membiayai hidup dan sekolahnya.

Akhirnya ia menamatkan Fakultas Hukum UI pada tahun 1984.

Menurut sebuah cerita Sofyan pernah menjadi pengajar mata kuliah agama Islam di IPB, dan di sanalah ia bertemu dengan isterinya, Ratna Megawangi, mahasiswi IPB pada masa itu.

Mereka kawin, dan kemudian ia dan isterinya melanjutkan sekolah ke AS.

Isterinya mendalami kajian kebijakan pangan, sementara Sofyan menekuni beberapa spesialisasi ilmu di Tufts University.

Setelah selesai sekolah Sofyan pulang ke Indonesia dan menjadi professional pada pasar modal dan menjadi konsultan untuk berbagai klien yang dilayaninya.

Cerita hidup Sofyan adalah cerita “pejuang” dan “perjuangan” sendiri menapaki hidup yang keras, namun berbuah sukses.

Ia tidak memiliki penopang, tidak mempunyai pengasuh, dan bahkan nyaris mustahil ia bisa kuliah di UI kalau melihat rekam jejak kehidupan dan pekerjaan yang dilakoninya.

Tetapi Sofyan tetap saja seorang lelaki sederhana yang tak penah berhenti berpikir dan berjuang untuk hari esok yang lebih baik.

Terhadap garis hidup hidup yang dijalani Sofyan dan apa yang telah dicapainya hari ini, dalam tradisi Aceh disebut sebagai “bak jok lam uteun”.

Yang dimaksud adalah butir buah enau yang terlempar dari pohonya atau dibawa mahluk hidup lain di tengah belantara hutan dengan nasib yang tidak menentu.

Perjuangan untuk tumbuh, dan tidak dimakan mahluk hutan satu perkara.

Menjalani masa awal tumbuh menyelinap diantara belukar berebut sinar matahari dengan pohon-pohon sekeliling perkara lain lagi.

Tumbuh kuat perlahan, berdampingan dengan pohon besar dan semakin kuat dan kokoh adalah tahapan berikutnya. Itulah Sofyan Jalil.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkini