Raih Gelar Doktor di USK, Silfi Iriyani Temukan Rancangan Strategis Persoalan Pengelolaan Hutan Aceh

Penulis: Yeni Hardika
Editor: Amirullah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Silfi Iriyani (tengah) berfoto bersama promotor desertasinya, Prof. Dr. Ir. Ahmad Humam Hamid, M.A , dan Prof Hizir Sulaiman, Direktur Program Pasca Sarjana universitas Syiah Kuala (USK) yang menjadi salah satu penguji desertasi Dr Silfi Iriyani yang mengangkat judul Model Operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Berbasis Daerah Aliran Sungai di Aceh, di Kampus USK Banda Aceh, Selasa 28 Juni 2022.

Prof Humam Hamid mengatakan, ketidakselarasan aturan yang ditemukan tersebut bahkan sangat signifikan.

"Ditemui ketidakselarasan yang signifikan antara Qanun nomor 7 tahun 2016 dengan PP 06 tahun 2007," ungkapnya.

"Ketidaksinkronan tersebut berimplikasi pada berbagai kelemahan, terutama menyangkut dengan otoritas, anggaran, kualitas sumberdaya manusia, dan inovasi," sambung Prof Humam Hamid.

Baca juga: Dubes Arab Saudi, Putri Reema Mendapat Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Marymount

Menurutnya, agar pembangunan kehutanan di Aceh tetap lestari secara sosial, ekonomi dan ekologi, maka status efektifitas pengelolaan hutan Aceh harus dijamin dengan memperbaiki dan mendorong operasionalisasi KPH. 

Penelitian yang dilakukan Silfi ini pada akhirnya merumuskan saran kepada Pemerintah Aceh, untuk mendorong optimalisasi pembangunan kehutanan melalui KPH. 

"Penelitian itu merekomendasikan pengarusutamaan kebijakan pengelolaan hutan Aceh dalam rencana pembangunan daerah Aceh, sebagai bagian dari upaya pengelolaan dan pemanfaatan hutan untuk modal pembangunan di Aceh," jelasnya.

"Modal pembangunan di Aceh yang bersumber dari pemanfaatan hasil hutan itu juga menjadi bagian dari strategi pembiayaan pembangunan di Aceh pasca Dana Otonomi Khusus yang akan berakhir pada 2027 mendatang," lanjutnya.

Ia menambahkan, KPH harus didorong untuk beroperasi.

Salah satunya adalah dengan melengkapi kebijakan turunan yang pertama, berupa peraturan daerah sebagai turunan dari UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh sesuai dengan ketentuan pasal 165 ayat 3 hurup f.

Kedua, melengkapi standar operasional prosedur melalui pengaturan lebih lanjut terhadap Qanun no 7 tahun 2016 sesuai dengan kewenangan Aceh untuk mengatur hutan dan sumberdaya yang ada di dalamnya.

Status operasionalisasi KPH Aceh saat ini juga dinilai memiliki kelemahan dalam hal pendanaan dan pembiayaan, kapasitas organisasi-dalam konteks keterbatasan kewenangan, dan lemahnya strategi bisnis dan investasi.

Salah satu upaya yang relevan dilakukan untuk mengatasi hal itu adalah dengan mengubah bentuk kelembagaan KPH di Aceh dari UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sebagai instrumen untuk mengatasi kelemahan kinerja KPH.

Dalam hal konservasi, terkait pengelolaan satwa liar dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), KPH juga harus didorong keterlibatannya secara utuh.

"Untuk beroperasional pada aspek konservasi, KPH memerlukan daya dukung yang sesuai dengan kewenangannya," imbuh Prof Humam Hamid.

Hutan jantung untuk pembangunan Aceh

Halaman
1234

Berita Terkini