Sementara itu, menurut Silfi, alasannya mengambil permasalahan Operasionalisasi KPH untuk disertasinya karena hutan Aceh memiliki posisi yang sangat strategis di tingkat lokal, nasional maupun global.
Berbicara kepada Serambi, Silfi mengatakan, bahwa dalam pandangannya hutan Aceh merupakan jantung bagi pembangunan Aceh.
Selain itu, menurutnya hutan di Aceh juga menjadi modal sosial, ekonomi dan ekologi.
Tak hanya untuk Aceh, bahkan juga untuk global.
"Hutan Aceh harus bisa dinikmati oleh masyarakat aceh dari seluruh sumberdaya yang dimiliki hutan Aceh," ujar perempuan kelahiran Lubuk Linggau, 5 Desember 1979 tersebut yang dihubungi Serambi, Kamis (30/6/2022).
Oleh karena itu, lanjutnya, KPH sebagai ujung tombak pengelolaan hutan Aceh harus dapat dipastikan mampu mencapai tujuan dan cita cita pengelolaan hutan Aceh secara berkelanjutan.
"Tentu saja dalam kerangka otonomi khusus yang disebut dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang juga harus sinergis dengan Strategi Nasional," jelasnya.
Silfi adalah seorang peneliti pada Center for Transdisplinary and Sustainability Science-CTSS Insititut Pertanian Bogor (IPB).
Ia mengambil gelar Doktor Ilmu Pertanian di kampus Pascasarjana USK sejak 2016 lalu.
Pada 2022, ia berhasil meraih gelar tersebut setelah mengangkat permasalahan operasionalisasi KPH di Aceh, dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Ahmad Humam Hamid, M.A selaku promotor, dan dua ko-promotor Dr. Ir. Agus Setyarso, M.Sc , Dr. Ir. Hairul Basri.
Pada saat sidang terbuka promosi doktor, disertasi Silfi diuji oleh tim penguji yang terdiri dari Direktur Program Pascasarjana USK, Prof. Dr. Hizir, dan tiga penguji konsentrasi, masing-masing Dr. Ir. Ashabul Anhar, M.Sc., Dr. Ir. Fajri, M.Sc.
Sementara yang bertindak sebagai penguji luar institusi adalah Erwin Soeprastowo Widodo, B.Sc (hons), M.Sc, Ph.D., GLS, profesional kehutanan dan pembangunan yang merupakan konsultan pada berbagai lembaga pemerintah dan non pemerintah.
Terkait penemuan dari hasil penelitiannya itu, Silfi sangat berharap Pemerintah Aceh bisa segera melakukan langkah-langkah strategis untuk penguatan KPH.
Silfi berpendapat, jika hendak mencapai tujuan "Uteun Tajaga Rakyat Aceh Makmue Beusare", KPH harus menjadi kebutuhan penting untuk pengelolaan hutan Aceh.
Terlebih untuk menghadapi pembangunan pasca otonomi khusus yang akan berakhir pada 2027 mendatang.
"KPH harus diarusutamakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang Aceh yang sinergis antara kewenangan Aceh dan arah kebijakan nasional," pungkasnya.
(Serambinews.com/Yeni Hardika)
BACA BERITA LAINNYA DI SINI