SERAMBINEWS.COM - Seorang mahasiswi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala (USK), Banda Aceh, sukses meraih gelar Doktor usai mengikuti ujian promosi doktor, pada Selasa (28/6/2022).
Ialah Silfi Iriyani, mahasiswi pada program doktor ilmu pertanian, Pascasarjana Universitas Syiah Kuala.
Gelar Doktor tersebut berhasil dia peroleh setelah mempertahankan disertasinya dengan judul "Model Operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Berbasis Daerah Aliran Sungai di Aceh" dalam sidang terbuka promosi doktor yang dipimpin oleh Wakil Rektor Bidang Akademik USK, Prof. Dr. Ir. Agussabti, M.Si, di Kampus Pascasarjana, Universitas Syiah Kuala.
Silfi merupakan mahasiswa ke-13 dari Program Studi Ilmu Pertanian, USK.
Kesuksesan Silfi ini lantas menjadikan tambahan jumlah lulusan doktor di USK.
Disamping itu, ada pula hal menarik dari kelulusannya itu.
Penelitian yang dilakukan Silfi untuk syarat menyelesaikan program doktoralnya itu dinilai sangat strategis dalam menangani permasalahan kehutanan di Aceh.
Baca juga: Doktor Emi Lantik Pengurus Pusat FORNAS MAKESYA, Mahasiswa Harus Mampu Berpikir Lokal dan Global
Dari hasil penelitian pada disertasinya, Silfi menemukan pembaharuan untuk model pengelolaan hutan di Aceh.
Prof. Dr. Ir. Ahmad Humam Hamid, M.A selaku pembimbing dan promotor dalam disertasi Silfi mengatakan, penelitian yang dilakukan oleh anak bimbingannya itu berfokus pada kerangka pengelolaan hutan di Aceh, dalam hal ini operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Penelitian yang dia lakukan itu berlandaskan pada tiga pilar, yaitu pilar sosial, pilar ekonomi dan pilar ekologi.
Selain itu, menurut Prof Humam Hamid, penelitian yang dilakukan Silfi juga memberikan perhatian khusus pada analisis sinkronisasi kebijakan pengelolaan hutan.
"Penelitian ini merupakan penelitian yang sangat strategis , terutama dengan keadaan terkini pengelolaan hutan Aceh yang belum efektif," ujarnya kepada Serambinews.com, Rabu (29/6/2022).
Menghasilkan dua kebahruan
Lebih lanjut Prof Humam Hamid menjelaskan, penelitian yang dilakukan anak bimbingannya tersebut telah menghasikan dua kebaharuan.
Kebaharuan pertama adalah menghasilkan satu rancangan model pengelolaan yang sesuai dengan situasi pengelolaan hutan Aceh pada kerangka kebijakan, dengan menggunakan tiga pilar, yaitu sosial, ekonomi dan lingkungan.
Baca juga: Promosi Doktor, Disertasi Mahasiswa UIN Ar-Raniry Ini Diuji Langsung Wamenag RI Zainut Tauhid Saadi
Kedua yaitu kebaharuan penguatan (novelty improvement), yaitu rumusan rekomendasi untuk operasionalisasi KPH pada tatanan kelembagaan, pembiayaan dan pendanaan.
Menurut Prof Humam Hamid, potensi hutan Aceh saat ini sedang dalam tantangan besar.
Ia mengatakan, Aceh memiliki luas hutan mencapai 58,96 persen dari luas daratannya.
Potensi hutan yang cukup luas tersebut seharusnya mampu mensuplai jasa untuk pembangunan dengan nilai ekonomi antara 22-30 milyar dolar pertahun.
Karena itu, menurutnya informasi yang didapatkan dari penelitian ini memberikan sejumlah rekomendasi yang dapat dijadikan sebagai bagian dari perumusan langkah-langkah penting untuk kepentingan Aceh.
Apalagi mengingat Aceh akan segera memasuki periode transisi dana otonomi khusus yang akan berakhir pada tahun 2027.
"Bagaimanapun, kesiapan Pemerintah Aceh dalam melakukan pengelolaan hutan dengan kebijakan-kebijakan baru bergantung pada status operasionalisasi di tingkat tapak yakni pada unit Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Aceh," sebut Prof Humam Hamid.
Baca juga: 5 Orang Mendaftar Bakal Calon Rektor UTU, Empat Doktor Satu Profesor
Tidak singkronnya kebijakan
Menurut Prof Humam Hamid, ketidakefektifan pengelolaan hutan di Aceh didasari karena kelemahan operasionalisasi di tingkat tapak, yaitu unit KPH di Aceh.
Seperti diketahui Aceh membentuk KPH pada tahun 2013, dengan basis utama Derah Aliran Sungai, melalui Peraturan Gubernur.
Selain itu, ketidaksinkronan kebijakan juga dinilai menjadi penyebabnya.
"Aspek yang tidak sinkron itu meliputi perencanaan hutan, pengelolaan hutan, konservesi sumber daya alam hayati dan ekosistem, pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan kehutanan, pengelolaan daerah aliran sungai, monitoring hutan, dan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan," terang guru besar USK dari Fakultas Pertanian tersebut.
Prof Humam Hamid mengatakan, semua kelemahan KPH itu merupakan turunan dari disharmonisasi regulasi yaitu PP 06 tahun 2007 yang merupakan kebijakan turunan dari UU Nomor 41 1999 tentang Kehutanan dengan regulasi daerah, Qanun Nomor 7 Tahun 2016 tentang Kehutanan.
Dijelaskan, Qanun nomor 7 tahun 2016 tentang kehutanan Aceh merupakan turunan dari UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Dalam penulisannya, ternyata Qanun ini tidak sinkron dengan mandat yang terdapat dalam PP 06 tahun 2007.
Prof Humam Hamid mengatakan, ketidakselarasan aturan yang ditemukan tersebut bahkan sangat signifikan.
"Ditemui ketidakselarasan yang signifikan antara Qanun nomor 7 tahun 2016 dengan PP 06 tahun 2007," ungkapnya.
"Ketidaksinkronan tersebut berimplikasi pada berbagai kelemahan, terutama menyangkut dengan otoritas, anggaran, kualitas sumberdaya manusia, dan inovasi," sambung Prof Humam Hamid.
Baca juga: Dubes Arab Saudi, Putri Reema Mendapat Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Marymount
Menurutnya, agar pembangunan kehutanan di Aceh tetap lestari secara sosial, ekonomi dan ekologi, maka status efektifitas pengelolaan hutan Aceh harus dijamin dengan memperbaiki dan mendorong operasionalisasi KPH.
Penelitian yang dilakukan Silfi ini pada akhirnya merumuskan saran kepada Pemerintah Aceh, untuk mendorong optimalisasi pembangunan kehutanan melalui KPH.
"Penelitian itu merekomendasikan pengarusutamaan kebijakan pengelolaan hutan Aceh dalam rencana pembangunan daerah Aceh, sebagai bagian dari upaya pengelolaan dan pemanfaatan hutan untuk modal pembangunan di Aceh," jelasnya.
"Modal pembangunan di Aceh yang bersumber dari pemanfaatan hasil hutan itu juga menjadi bagian dari strategi pembiayaan pembangunan di Aceh pasca Dana Otonomi Khusus yang akan berakhir pada 2027 mendatang," lanjutnya.
Ia menambahkan, KPH harus didorong untuk beroperasi.
Salah satunya adalah dengan melengkapi kebijakan turunan yang pertama, berupa peraturan daerah sebagai turunan dari UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh sesuai dengan ketentuan pasal 165 ayat 3 hurup f.
Kedua, melengkapi standar operasional prosedur melalui pengaturan lebih lanjut terhadap Qanun no 7 tahun 2016 sesuai dengan kewenangan Aceh untuk mengatur hutan dan sumberdaya yang ada di dalamnya.
Status operasionalisasi KPH Aceh saat ini juga dinilai memiliki kelemahan dalam hal pendanaan dan pembiayaan, kapasitas organisasi-dalam konteks keterbatasan kewenangan, dan lemahnya strategi bisnis dan investasi.
Salah satu upaya yang relevan dilakukan untuk mengatasi hal itu adalah dengan mengubah bentuk kelembagaan KPH di Aceh dari UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sebagai instrumen untuk mengatasi kelemahan kinerja KPH.
Dalam hal konservasi, terkait pengelolaan satwa liar dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), KPH juga harus didorong keterlibatannya secara utuh.
"Untuk beroperasional pada aspek konservasi, KPH memerlukan daya dukung yang sesuai dengan kewenangannya," imbuh Prof Humam Hamid.
Hutan jantung untuk pembangunan Aceh
Sementara itu, menurut Silfi, alasannya mengambil permasalahan Operasionalisasi KPH untuk disertasinya karena hutan Aceh memiliki posisi yang sangat strategis di tingkat lokal, nasional maupun global.
Berbicara kepada Serambi, Silfi mengatakan, bahwa dalam pandangannya hutan Aceh merupakan jantung bagi pembangunan Aceh.
Selain itu, menurutnya hutan di Aceh juga menjadi modal sosial, ekonomi dan ekologi.
Tak hanya untuk Aceh, bahkan juga untuk global.
"Hutan Aceh harus bisa dinikmati oleh masyarakat aceh dari seluruh sumberdaya yang dimiliki hutan Aceh," ujar perempuan kelahiran Lubuk Linggau, 5 Desember 1979 tersebut yang dihubungi Serambi, Kamis (30/6/2022).
Oleh karena itu, lanjutnya, KPH sebagai ujung tombak pengelolaan hutan Aceh harus dapat dipastikan mampu mencapai tujuan dan cita cita pengelolaan hutan Aceh secara berkelanjutan.
"Tentu saja dalam kerangka otonomi khusus yang disebut dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang juga harus sinergis dengan Strategi Nasional," jelasnya.
Silfi adalah seorang peneliti pada Center for Transdisplinary and Sustainability Science-CTSS Insititut Pertanian Bogor (IPB).
Ia mengambil gelar Doktor Ilmu Pertanian di kampus Pascasarjana USK sejak 2016 lalu.
Pada 2022, ia berhasil meraih gelar tersebut setelah mengangkat permasalahan operasionalisasi KPH di Aceh, dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Ahmad Humam Hamid, M.A selaku promotor, dan dua ko-promotor Dr. Ir. Agus Setyarso, M.Sc , Dr. Ir. Hairul Basri.
Pada saat sidang terbuka promosi doktor, disertasi Silfi diuji oleh tim penguji yang terdiri dari Direktur Program Pascasarjana USK, Prof. Dr. Hizir, dan tiga penguji konsentrasi, masing-masing Dr. Ir. Ashabul Anhar, M.Sc., Dr. Ir. Fajri, M.Sc.
Sementara yang bertindak sebagai penguji luar institusi adalah Erwin Soeprastowo Widodo, B.Sc (hons), M.Sc, Ph.D., GLS, profesional kehutanan dan pembangunan yang merupakan konsultan pada berbagai lembaga pemerintah dan non pemerintah.
Terkait penemuan dari hasil penelitiannya itu, Silfi sangat berharap Pemerintah Aceh bisa segera melakukan langkah-langkah strategis untuk penguatan KPH.
Silfi berpendapat, jika hendak mencapai tujuan "Uteun Tajaga Rakyat Aceh Makmue Beusare", KPH harus menjadi kebutuhan penting untuk pengelolaan hutan Aceh.
Terlebih untuk menghadapi pembangunan pasca otonomi khusus yang akan berakhir pada 2027 mendatang.
"KPH harus diarusutamakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang Aceh yang sinergis antara kewenangan Aceh dan arah kebijakan nasional," pungkasnya.
(Serambinews.com/Yeni Hardika)
BACA BERITA LAINNYA DI SINI