Padahal, pemerintah sudah membuka larangan eskpor CPO dan turunannya terhitung mulai 23 Mei 2022.
Dibuka larangan eskpor ini, ternyata tidak serta merta langsung berdampak membaiknya harga pemasaran TBS di tingkat petani.
Malah, beberapa waktu lalu sudah berada pada dititik mengkhawatirkan, yakni Rp 700/kg.
Pasang surutnya nasib petani sawit ini memang acap kali terjadi, tertutama terkait harga pemasaran TBS yang terus menjadi delema bagi mereka.
Baca juga: Dari Demo hingga Aksi Bakar TBS Kelapa Sawit Sudah Digelar, Apkasindo: Tapi Harga Masih Anjlok
“Bayangkan saja ongkos panen yang rata-rata mencapai Rp 200/kg – Rp 300/kg, sementara harga cuma Rp 700 per kilogram.
Nyaris kami tidak memperoleh hasil yang bisa menutupi biaya hidup," kata Ramli, warga Trumon beberapa waktu lalu.
Ketika itu, para petani sawit banyak yang berangkat mencari kerja di luar kampungnya, bahkan ada yang menjadi buruh bangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sebab, jika mereka bertahan dengan mengurus sawit saat itu, jelas tidak cukup untuk mengasapi dapur.
Meski begitu, ada sebagian dari mereka yang tetap bertahan untuk mengurus kebun, namun bukan sebagai petani tetapi berubah status sebagai buruh tani di kebun sendiri.
Karena, semua urusan perawatan kebun dikerjakan sendiri tanpa memperkerjakan orang lain, mulai pembersihan, panen hingga pemupukan.
“Hitung-hitung sekadar lepas makan, meskipun harus juga mencari pekerjaan tambahan, kalau mengandalkan dari hasil panen sawit tidak akan mencukupi untuk mengasapi dapur dan biaya sekolah anak,” ujar Mustafa, petani sawit asal Trumon waktu itu. (*)