Misal biaya operasional di salah satu Farm itu per harinya Rp 15 juta, dibandingkan pendapatan per harinya itu hanya 12 juta.
"Kalau minus sehari Rp 3 juta itu, ngapain harus dipertahankan. Makanya terpaksa mereka bongkar, setelah dibongkar otomatis tidak lanjut budidaya. Karyawan kan off tidak lagi bekerja," jelasnya.
Dikatakan Prof Jon, para petani tambak juga berharap pemerintah agar menghadirkan eksportir khusus udang yang memiliki pabrik di Aceh.
Menurutnya, dengan adanya eksportir di Aceh, produk-produk lokal Aceh memiliki tempat penampungan.
Baca juga: Melihat Keberhasilan Membudidaya Udang Vaname Sistem Bioflok di Lhokseumawe
Harga pakan naik
Turunnya harga beli udang dari para petani itu, semakin diperparah dengan naiknya harga pakan untuk budidaya udang vaname.
Bagaimana tidak, harga pakan tersebut mengalami kenaikan Rp 50 ribu per karungnya.
Dari harga Rp 420 ribu per karung kini menjadi Rp 470 ribu per karungnya.
Hal itu berbanding terbalik dengan pendapatan para pelaku usaha budidaya udang vaname tersebut.
Masih kata Prof Jon, saat ini penyedia pakan per bulan itu menjual kepada petani hingga 1.200 per bulannya.
Dari jumlah tersebut, jika dibagi 1,5 total hasil panen para petani tambak di Aceh itu menghasilkan 800 ton udang.
"Jadi hasil panen juga cukup banyak. Jadi kami para petani ini perlu solusi soal harga ini," ucapnya.
Dengan turunnya harga udang itu juga berdampak dengan pendapatan para penyedia pakan.
Gusnar, salah seorang penyedia pakan udang mengatakan, biasanya pihaknya menerima profit Rp 25 - 35 ribu per Kg, kini di angka Rp 8-14 ribu per Kg.
"Dengan modal operasional yang besar, tidak sebanding dengan resiko. Modal operasional sekarang di angka 45-52 ribu/Kg," kata Gusnar saat dikonfirmasi Serambinews.com.