Kupi Beungoh

Masjid Sangso dan Tanggung Jawab Negara

Editor: Muhammad Hadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Khairil Miswar adalah penulis Buku “Habis Sesat Terbitlah Stres: Fenomena Penolakan Wahabi di Aceh (Padebooks, 2017)

Lalu masyarakat mana yang melarang pembangunan masjid jika yang membangun masjid juga masyarakat?

Di sinilah punca kerumitan itu, dimana oknum-oknum “reaksioner” sengaja bersembunyi di belakang masyarakat yang tak sadar namanya dicatut.

Baca juga: 23 Tahun Bireuen, Bergegaslah!

Demikian pula penggunaan istilah mayoritas – sebagai pihak yang menolak pembangunan masjid, juga konyol dan membingungkan.

Tidak jelas siapa yang menjadi mayoritas dan siapa pula minoritas di sana?

Katakanlah dalam hal ini Muhammadiyah yang menjadi minoritas, lantas siapa pula yang kemudian bertindak dan mengklaim diri sebagai mayoritas?

Anehnya, aparatur pemkab juga seperti kehilangan daya kritisnya sehingga tidak mampu menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ringan semacam ini.

Akibatnya ketika tim Lembaga Bantuan Hukum PP Muhammadiyah bertanya kepada mereka, mereka tidak mampu memberi jawaban secara jelas dan rinci tentang apa yang terjadi di Samalanga sebenarnya.

Padahal aksi pelarangan pembangunan masjid itu sudah berlangsung bertahun-tahun dan telah menjadi isu nasional sejak lama.

Setidaknya ada tiga kemungkinan kenapa ini bisa terjadi. Pertama, ada ketakutan dari aparatur Pemkab Bireuen terhadap sosok-sosok “reaksioner” di Samalanga atau mungkin pemkab justru mendapatkan tekanan dari mereka?

Jika asumsi ini benar, maka patutlah kita semua tertawa atau bahkan terbahak sebagai bentuk keprihatinan atas gugurnya wibawa Pemda Bireuen di hadapan oknum “reaksioner.”

Baca juga: Tanpa Sponsor BUMN, Formula E Kalahkan MotoGP Mandalika Terkait Keuntungan dan Dampak Ekonomi

Kedua, agar terlihat populis guna mendapatkan atau mempertahankan dukungan politik dari “hantu” mayoritas.

Meskipun kemungkinan ini bisa saja terjadi, namun secara politis hal ini tentu tidak memberi keuntungan apa pun kepada PJ Bupati Bireuen, sebab ia bukan politisi yang akan berkontestasi dalam Pilkada Bireuen ke depan.

Ketiga, menjaga muruah dan branding Kota Santri.

Kita tahu, salah satu “kado kosong” yang menjadi legacy Muzakkar A. Gani adalah ditetapkannya Bireuen sebagai Kota Santri – yang secara sosio-historis kurang memiliki landasan dan cenderung politis.

Bisa jadi, Pj Bupati saat ini punya keinginan untuk memelihara branding dimaksud sehingga kebijakannya terlihat tidak responsif terhadap aspirasi Muhammadiyah dan justru mengakomodir keinginan oknum “reaksioner.”

Halaman
1234

Berita Terkini