Kupi Beungoh

Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh VIII - Merin: Perampok, Pemeras, Atau Robinhood?

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Oleh Ahmad Humam Hamid*)
 
MENGAITKAN nama Ayah Merin dengan Robinhood, pencuri legendaris penolong orang miskin, dalam cerita rakyat popoler Inggris 7 abad yang lalu itu rasanya mengada-ngada.
 
Tidak hanya konyol, tetapi juga menggelikan.
 
Ada satu dua fenomena yang bersinggungan, namun sama sekali tak ada kemiripan.
 
Paling kurang ada dua hal yang sama sekali sukar membayangkan dalam konteks film Robin Hoods dengan Merin, yakni Hutan Sherwood, dan juga sejumlah wajah pemeran utama dari paling kurang 10 versi fim Robinhood.
 
Dalam cerita rakyat Inggris tentang Robinhood, hutan Sherwood adalah hutan kerajaan, tempat tinggal para orang miskin yang berontak di wilayah Notinghamshire, Inggris.
 
Kedua, sekalipun wajah Merin lumayan, namun kalah ganteng dibandingkan dengan sejumlah pemeran utama dari tiga film Robinhood; Kevin Costner (1999), Russell Crowe (2010) , dan Taron Eagerton (2018).
 
Sherif Notingham adalah tokoh antagonis yang lebih merupakan tiran, penindas kaum miskin, pemungut pajak kejam, dan apapun kata buruk yang berhubungan dengan kuasa.
 
Untuk Merin pada masa itu, kualifikasi Sherif Notingham agak mendekati, kecuali penindas kaum miskin.
 
Yang dicari  Merin dan kawan-kawannya adalah uang yang berurusan dengan berbagai proyek pembangunan.
 
Di sebalik “penindasan”itu ada potret lain yang mendekati perangai Robinhood yang juga ditemui dalam kelakuan Merin keseharian.
 
Sebagian uang itu diberikan kepada para anak buahnya.
 
Uang Merin juga diberikan untuk yatim dan janda korban konflik di Sabang dan Pulo Aceh, dan di beberapa tempat di wilayah daratan Aceh selama tahun-tahun awal pascakonflik.
 
Di kalangan sejumlah Panglima Sagoe-komandan lapangan GAM di daratan, Merin dianggap sebagai tokoh pimpinan GAM yang sangat pemurah yang membantu mereka dan para mantan kombatan yang “dhaif” di lapangan.
 
Perebutan proyek dengan cara-cara ancaman dan  kekerasan, permintaan fee kepada pemenang tender proyek-proyek pembangunan di Aceh, berlangsung secara meluas pada tahun-tahun setelah perdamaian.
 
Hal itu terjadi pada berbagai proyek APBA, APBK, dan proyek rehab-rekon tsunami Aceh, baik via BRR-Aceh Nias, Pemda, maupun via NGO dan lembaga donor.
 
Paling kurang antara 2005 akhir sampai dengan tahun 2009, praktek itu seolah dianggap normal, dan diterima sebagai sebuah kenyataan.
 
Hampir dapat dipastikan, pihak kepolisian tidak pernah mendapatkan laporan ancaman kekerasan atau pemerasan, baik dari pelaksana proyek, maupun dari pengusaha.
 
Sekalipun mungkin ada laporan dari pihak yang merasa sebagai korban, praktis kepolisian tidak akan menangani, karena kehati-hatian yang sangat tinggi untuk menjaga perdamaian.
 
Kata kunci yang paling sering ditemui di kalangan pengusaha, pimpinan proyek, kepala dinas, dan berbagai unsur terkait dengan pelelangan dapat disimpulkan dalam dua kalimat, “dont ask-jangan tanya”, dan don’t tell-jangan jawab.
 
Sikap permisif itu seringkali dikaitkan dengan dua kalimat “pajak nanggroe” dan “awak nanggroe”, yang dalam konotasinya kadang lebih berasosiasi semacam “ghanimah”-istilah bahasa Arab untuk harta dari hasil perang yang berhak diperoleh bagi yang ikut serta di dalam perang itu.
 
Apa yang menjadi justifikasi terhadap berbagai kejadian itu adalah bayangan janji kesejahteraan terhadap kombatan dan keluarga korban konflik yang berjumlah ribuan orang yang tersebar di seluruh Aceh.
 
Justifikasi yang paling sering digunakan oleh berbagai pihak pada masa itu terhadap keadaan tak normal itu adalah “masa transisi.”
 
Yang dimaksud sebenarnya, tidak lain dari praktek ekonomi masa perang, di mana  GAM merasa berhak mendapatkan setoran dari berbagai kegiatan ekonomi dan pembangunan di Aceh.
 
Fenomena itu tak lain sebagai wujud dari klaim eksistensi Aceh, sebagai “negara” versi GAM.
 
Justifikasi itu pula yang menjadi pegangan untuk mencari uang sebagai alasan untuk janji perdamaian secara cepat kepada eks kombatan dan korban konflik, menunggu hasil pembangunan yang dijanjikan.

Baca juga: Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh VII - KPK, “French Paradox”, dan “Merin Paradox”

Baca juga: Korupsi , KPK, dan Perdamaian Aceh VI - Merin itu Bukan Orang Baik Sekali

Memang benar bahwa ada harapan yang sangat tinggi di kalangan Gerakan Aceh Merdeka tetang “buah instant” perdamaian yang akan didapatkan setelah MOU ditandatangani.
 
Harapan itu seringkali diceritakan oleh tokoh tua GAM kepada para anak muda kombatan, betapa perdamaian DI/TII pada 1962 memberikan kesejahteraan yang cukup baik kepada banyak pihak yang terlibat.
 
Anggota TNI dan Polisi yang menjadi desersi bergabung dengan DI/TII , diampuni dan diberikan izin untuk kembali ke kesatuan asal dengan pangkat yang sama.
 
Pegawai negeri dari instansi apapun, diampuni dan diberikan peluang kembali untuk bekerja dengan status pangkat yang sama dengan sebelum mereka bergabung dengan DI/TII.
 
Selanjutnya, para anak muda yang berpendidikan, banyak yang direkrut menjadi pegawai atau karyawan PNKA- kereta api Aceh pada masa itu.
 
Sangat sedikit, kecuali orang biasa yang tak berpendidikan yang tidak mendapat fasilitas.
 
Yang paling penting, beberapa elite DI/TII yang meminta dan memang kemudian dilayani oleh pemerintah, dengan sejumlah fasilitas dan konsesi, termasuk pemberian perkebunan yang cukup lumayan.
 
Impian kejadian seperti itu tak terulang, karena memang tidak sangat runtut diatur dalam MOU Helsinki, kecuali beberapa hal yang ditulis dibawah judul biaya reintegrasi.
 
Termasuk di dalamnya adalah janji pemberian lahan 2 hektare untuk 3000 kombatan dengan hak pakai 75 tahun, pembanguan rumah, dan berbagai program bantuan sosial ekonomi.
 
Mimpi kesejahteraan eks kombatan dan korban konflik hanya terwujud dalam bentuk uang 25 juta rupiah per orang kepada 3000 anggota GAM (MOU butir 4.2), dan bahkan oleh beberapa pihak telah ditafsirkan sebagai penganti kompensasi lahan.
 
Eks anggota GAM yang menyerah sebelum MOU Helsinki dan anggota PETA hanya menerima 10 juta rupiah.
 
Pada kenyataannya, banyak eks kombatan yang mengeluh, dan marah, karena mereka tidak menerima uang 25 juta rupiah itu.
 
Sebagian menyalahkan korupsi di kalangan elite GAM, sebagian lain menyalahkan pemerintah yang tidak mempersiapkan sandard operasi yang baik untuk penerimaan bantuan itu.
 
Terhadap kasus tuduhan korupsi untuk demaga Sabang yang kemudian dikaitkan dengan gubernur Irwandi Yusuf pada tahun 2008, apa yang dilakukan Merin-jika memang ada dan terbukti, semuanya terjadi sebagai bagian  dari operasi “masa transisi”.
 
Tentang jumlah uang dan keterkaitan dengan Irwandi, apa yang diyakini oleh KPK pada tahun 2018 ketika Irwandi diadili, ternyata tidak terbukti, sehingga Irwandi dinyatakan bebas oleh pengadilan untuk kasus dugaan korupsi dermaga Sabang.
 
Hampir semua kalangan, termasuk saya pribadi, haqqul yakin, Merin mengambil dan menerima uang itu.
 
Kenapa? Karena dengan jumlah anggaran yang begitu besar, mustahil Merin dan kawan-kawannya akan melewatkan kesempatan itu.
 
 
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
 
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
 
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
 

Berita Terkini