Oleh Ahmad Humam Hamid*)
PADA minggu terakhir April 2021, di tengah kecamuk Covid-19 saya menumpang kereta subuh Argo Gede tujuan Bandung untuk mengunjungi anak saya dan keluarganya.
Perjalanan itu sekaligus ingin membezuk Irwandi di Sukamisin.
Saya sudah lama tidak berkomunikasi dengan Irwandi, semenjak ia ditahan.
Melalui jasa seseorang, saya mengirim pesan ingin ketemu, dan ia setuju, hingga akhirnya pada pagi yang ditunggu itu, saya tiba di depan penjara.
Segera saya mendapat berita dari seseorang bahwa Irwandi tidak diperkenankan oleh Lapas Sukamiskin untuk menerima tamu, karena ada surat pengaduan dari Aceh.
Pertemuan itu gagal.
Akhirnya Tiyong-anggota DPRA dari Partai PNA, memberikan keterangan kepada media bahwa ia sendiri yang menyurati lembaga terkait, karena menurutnya komunikasi Irwandi yang menganggu PNA.
Tepatnya menurut Tiyong, komunikasi secara terselubung Irwandi keluar, telah mengganggu ketentraman politik PNA.
Tiyong beralasan gangguan ketrentaman PNA dan mungkin juga publik dilakukan oleh seorang napi dari dalam penjara.
Setelah itu saya tak pernah lagi berupaya untuk membezuknya untuk jangka waktu yang lumayan lama.
Hingga pada 6 September 2022, saya kembali mengunjungi Irwandi di Sukamiskin.
Kali ini saya berhasil masuk dan menjenguknya.
Kami ngopi di cafetaria lapas sekitar 2 jam, dan bicara banyak hal tentang dirinya, masa depan Aceh, dan Indonesia.
Ada satu bagian penting yang awalnya saya anggap enteng ketika kami mulai bicara.
Saya bertanya, apa saja kegiatan Irwandi selama di penjara?
Ia menjawab singkat “tidur, membaca, olahraga, dan ibadah”.
Lain lagi?
Irwandi menjawab bahwa ia sedang mempersiapkan sebuah biografinya yang lengkap.
Ia telah mulai menulis sejumlah titik penting dalam perjalanan hidupnya.
Lalu ia menyampaikan beberapa hal yang telah ia tulis garis besarnya.
“Saya akan menulis kenapa saya menang Pilkada ketika bertarung dengan abang,” selorohnya.
Saya senyum dan tak menanggapi.
Ia melanjutkan banyak lagi yang lain yang akan ditulis.
Ia terus melanjutkan dengan kegiatannya setelah ia kalah dengan seniornya di GAM, dokter Zaini Abdullah, dan pensiun lima tahun, termasuk yang dia alami ketika kampanye pada tahun 2017.
Kami bicara panjang tentang “manajemen kalah Pilgub,” dan ternyata waktu Irwandi dihabiskan untuk menjadi pilot setelah ia kalah pada 2012.
Ada satu hal penting dan menarik yang ia uraikan, dan itu menyangkut dengan PT East Asia Mineral yang hari ini menjadi kasus kontoversial Aceh dan Jakarta.
Pasalnya? Tentu saja tentang kewenangan UUPA/No 11/2006, yang teranyata bobol pada pasal penting yang mengatur kewenangan mineral dan logam non migas.
Ia menceritakan pada 2009, seorang tokoh Aceh datang kepadanya membawa pesan seorang mantan anggota kabinet Gus Dur.
Pesannya, orang itu minta izin untuk penambangan perusahaan, PT East MIneral itu di wilayah Linge, Aceh Tengah.
Orang yang mengirim pesan itu, kini menjadi orang yang sangat penting dan berkuasa dalam pemerintahan Jokowi.
Permintaan itu ditolaknya, dan dengan berseloroh ia mengatakan kepada orang tua itu “pue hana buet laen droeneuh?’-apa bapak ngak ada kerjaan lain?”
Menurut Irwandi, pada tahun 2010, ia didatangi lagi oleh orang-orang yang mewakili PT East Asia Mineral, kali ini dengan membawa surat rekomendasi Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin.
Ia merasa di “fait accomply”.
Di tengah penjelasannya saya menyela, “PT. East Asia Mineral itu bukan pakai strategi “kaleng-kaleng,”.
Itu baru “makanan pembuka” sebagai upaya membuka pintu masuk oligarki ke Aceh.
Ia setuju dan kami saling memandang .
Dengan fait accomply itu Irwandi merasa diadu dengan Bupati Aceh Tengah yang telah memberi izin.
Padahal walaupun pemda tingkat II ikut terlibat, kewenangan itu, sesuai UUPA/11/2006, sepenuhnya ada pada pemerintah provinsi.
Begitulah kunci kewenangan sumber daya itu idealnya dilaksanakan.
Irwandi marah dan menolak memberi rekomendasi.
Dia tidak tahu, atau mungkin sangat tinggi percaya diri.
Apalagi salah satu jalan kompromi mengakhiri konflik Aceh yang Aceh baru saja diberikan.
UUPA/no11/2006 memberikan banyak kewenangan untuk Aceh, terutama di sektor mineral nonmigas.
Ketika menolak permohonan itu, Irwandi tidak sadar atau tak tahu “peta kepentingan,” atau dengan siapa ia berhadapan.
Ia tak sadar, kali ini bukan perang biasa yang ia akan hadapi.
Dalam perkembangannya kemudian, -semenjak dia terpilih sampai dengan ia dipenjarakan, terbukti Irwandi abai.
Di bagian paling ujung ia baru sadar bahwa ia berhadapan dengan saah satu koalisi oligarki kekuasaan terhebat dalam sejarah negeri ini.
Ketika ia terpilih untuk masa jabatan 2017-2022, Irwandi beruntung.
Gubenur sebelumnya telah membuat kebijakan “morotorium tambang” semenjak 2014-2017.
Tidak ada keterangan rinci kenapa Zaini membuat kebijakan itu.
Menurut informasi, adalah Malik Mahmud, Wali Nanggroe yang sangat menentang pemberian izin tambang sembarangan, yang juga sejalan dengan kebijakan Zaini pada masa itu.
Tak lama setelah moratorium izin tambang yang dikeluarkan Zaini berakhir pada Oktober 2017, Irwandi menerbitkan lagi perpanjangan morotorium.
Masa berlaku morotorium izin tambang yang dikeluarkan dari 15 Desember 2017- 30 Juni 2018.
Kebijakan moratorium untuk masa enam bulan itu dikeluarkan Irwandi dengan alasan strategis, yakni penyempurnaan tata kelola pertambangan mineral logam dan batubara yang terpadu, dan terkoordinir, terutama dengan memberi perhatian besar kepada ruang wilayah Izin Usaha Pertambangan, sesuai RTRW Aceh.
Dalam masa moratorium itu, Irwandi mengerahkan seluruh kepala SKPA terkait mengambil langkah langkah persiapan untuk mempersiapkan Aceh menuju pertambangan berkelanjutan.
Sebagai mantan aktivis konservasi, Irwandi menekankan pentingnya wawasan lingkungan dalam eksploitasi sumber daya, dengan memperhatikan kaedah pertambangan yang baik dan benar.
Irwandi sudah siap menghadapi berakhirnya morotorium yang ia buat yang berakhir pada 30 Juni 2018.
Ia marah dan sesumbar ketika mengetahui departemen ESDM telah mengeluarkan Izin Usaha Pertambaagan untuk PT East Asia Mineral atas dasar izin bupati Aceh Tengah, yang pernah ia tolak pada 2009 dan 2010.
Kepada beberapa pihak dia menyebut bahwa ia “siap” menghadapi pelanggaran izin yang diberikan kepada PT East Asia Mineral yang telah mengerogoti kewenangan dalam sektor pertambangan mineral dan logam Aceh.
Kadang-kadang dengan nada emosional ia menyebutkan akan meluruskan persoalan itu dengan pemerintah pusat.
Ia bertekad, kewenangan Aceh dalam hal pertambangan mineral dan batubara, harus dikembalikan seperti amanah UUPA.
Perusahaan tambang emas yang telah mendapat izin itu telah berobah menjadi PT Linge Mineral Reosurce- kongsi antara Group Bakrie dengan PT East Asia Mineral Kanada.
Izin eksplorasi telah dikeluarkan pada tahun 2009 kepada PT East Asia Meineral dengan nomor 530/2296/IUP-EKSPLORASI/2009.
Adapun luas area yang diberikan adalah 98.143 hektare, komoditas Emas, di Kecamatan Linge dan Bintang Aceh Tengah kini telah menjadi milik PT Linge Mineral Resource.
Irwandi tak sempat menjalankan kebijakan pertambangan yang telah dipersiapkan oleh tim kerja SKPA yang ia dbentuknya semenjak ia dilantik.
Ia tak sempat “berdakwa” dengan pihak-pihak yang telah mengeluarkan izin pertambangan emas kepada PT Linge Mineral Resource.
Hanya 4 hari-,30 Juni 2018 setelah masa perpanjangan moratorium pertambangan yang dibuat berakhir, pada tanggal 4 Juli, Irwandi dijaring dalam operasi tangkap tangan KPK.
Awalnya Irwandi ditahan atas kasus gratifikasi anggaran DOKA dari bupati Ahmadi sekitar satu miliar rupiah.
Kasus itu menjadi heboh dan gurih di media, karena ada keterlibatan wanita cantik, Steffy Burase.
Dalam perjalanannya KPK menindih lagi Irwandi dengan dua kasus gratifikasi yang membuat jumlah totalnya adalah 41,7 miliar.
Ia terhempas dengan tuduhan itu, dan ia kemudian menjalani kurungan, KPK dan Sukamiskin selama lebih dari 4 tahun.
Sama sekali tidak ada dasar, walaupun ada ruang untuk menerapkan “teori konspirasi”, untuk menuduh ada pihak lain yang mencelakakan Irwandi untuk kasus yang menimpanya.
Sebagai seorang mantan pengatur strategi GAM pada masa konflik, saya tak tahu apakah Irwandi membaca dengan baik buku klasik strategi “On War” karya Carl von Clauswitz-jenderal hebat dan ahli staregi Prusia abad ke 18 itu.
Apakah ia khatam “The Art of War,” karya Sun Tzu- Jenderal hebat Cina, filosof, pemikir besar teori perang, yang hidup 500 tahun sebelum masehi?
Saya tak tahu, mungkin dia baca, dia kunyah, namun dia lalai.
Kalau saja ia mengingat kembali semua tindakan penting yang ia lakukan, periode pertama gubernur, ketika memerintah periode kedua, sebelum ia masuk penjara, ceritanya akan berbeda.
Jika saja dan ia membaca dengan benar keadaan ketika ia terpilih kembali, kemungkinan besar nasibnya akan lain.
Irwandi boleh hebat dalam banyak hal, tetapi ia lalai.
Mungkin juga ia tak sadar dengan siapa ia pernah bertentangan, termasuk ketika ia menolak memberikan izin kepada PT East Asia Meneral.
Baca juga: Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh VIII - Merin: Perampok, Pemeras, Atau Robinhood?
Baca juga: Pernyataan Prof Humam Terkait KPK, Ayah Merin dan Irwandi Yusuf Ditanggapi Pro-Kontra
Ia juga lupa dan bahkan sesumbar dengan tambang emas Linge Mineral Resources, dan pihak-pihak yang terkait dengan pertambangan emas itu.
Ketika Sun Tzu menulis prinsip “kenalilah musuhmu dan dirimu dengan baik”, Sun Tzu memberikan sebuah prinsip yang kalau dituliskan dengan seksama, menghasilkan buku berjilid-jilid.
Irwandi banyak tahu tentang hal yang ditulis Sun Tzu, tetapi kali ini ia tak mawas diri.
Irwandi abai, lupa, “careless,” dan mungkin saja ia terlena.
Ia tak sadar ada mesin pengintai dan mungkin perangkap yang sedang bekerja untuk menghabisinya.
Akibatnya, ia lupa menjaga dirinya.
Ia lupa dan tak waspada dari berbagai peluang yang bisa mencelakakan drinya.
Sebaliknya, orang yang tak suka dengan Irwandi, terutama bagi mereka yang kepentingannya terganggu, mereka belajar dengan benar siapa Irwandi yang sesungguhnya.
Mereka lebh cerdas dan siaga dari Irwandi.
Kasus pembatalan reklamasi Teluk Jakarta oleh Anies Baswedan adalah sebuah contoh yang baik, yang seharusnya menjadi cermin bagi siapapun, untuk melihat konsekuensi seorang penguasa wilayah jika “berkelahi” dengan oligarki dan elit kekuasaan nasional.
Untuk menghajar Anies, dibentuk sebuah partai khusus pada level nasional yang menjadi bagian dari koalisi pemerintah, yang tugasnya hanya merusak Anies di Jakarta.
Tak cukup dengan partai, dibentuk pula sebuah media untuk merusak citra Anies Baswedan.
Media propaganda yang dibangun itu, pekerjaannya siang malam membunuh karakter Anies.
Sulit untuk mengatakan kedua komponen perusak Anies itu tidak beririsan dengan pemerintah yang berkuasa dan oligarki.
Pasalnya? Karena Anies melawan oligarki, sekaligus tak mau ikut dengan apa kata elite nasional yang berkuasa.
Anies dengan cekatan membangun, mengerjakan pekerjaan yang benar, dan melakukannya dengan benar.
Tak ada setitik pun ia terkait dengan perempuan.
Tak pernah ada sedikitpun ruang yang terbuka yang menjadi pintu masuk bagi pihak berwajib untuk menuduh Anies terlibat korupsi sampai akhir masa jabatannya.
Anies tidak hanya waspada tentang peluang penyalahgunaan kekuasaan yang akan ditimpakan kepadanya, ia bahkan tak memberi ruang sedikitpun untuk peluang hadirnya tuduhan itu.
Ia sangat sadar, mesin pengintai dan perangkap dari oligarki dan elite nasional yang memusuhinya telah siap, bahkan semenjak ia dilantik.
Hal inilah yang sepertinya terabaikan oleh Irwandi.
Baca juga: Berani Kritik KPK dan Presiden Jokowi Terkait Kasus Ayah Merin dan Irwandi Yusuf, Siapa Humam Hamid?
Keputusasaan oligarki dan elite nasional yang ingin mengagalkan Anies akhirnya terbukti dengan pemaksaan peristiwa Formula E, yang menjadi objek tertawaan publik nasional.
Keperkasaan ketua KPK Firli Bahuri yang ngotot untuk memasukkan Formula E ke tahap penyidikan, tidak hanya gagal, bahkan dilawan secara keras di lingkungan KPK sendiri.
Andai saja ada versi "Steffy Burase" dalam kasus Formula E, mungkin koalisi Nasdem, PKS, dan Demokrat, tak akan pernah ada pada hari ini.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI