Liputan Khusus

Masih Layakkah Rawa Tripa sebagai Habitat Orangutan?

Editor: Taufik Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Laporan Taufik | Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM – Terlahir sebagai satwa yang tak bisa berenang namun hidup di hutan yang terkepung air. Bergerak lamban saat berjalan di tanah, sementara pepohonan tempat ia biasa bergelantungan menghilang dengan cepat. Sungguh ironis nasib Orangutan di hutan gambut Rawa Tripa. Hutannya dirampas oleh 'sepupu dekat' hingga mereka terancam punah di habitat alaminya.

Seorang mantan pencari rotan yang kemudian mendirikan lembaga peduli lingkungan di Nagan Raya, Suratman, dengan lugas mengatakan, “Sejak Rawa Tripa beralih menjadi kebun sawit, sejak itulah kawanan Orangutan di sini banyak yang mati. Mereka tidak bisa bermigrasi secara alami ke hutan di pegunungan, sebab kawasan ini terkurung air,” ungkap Suratman yang gundah dengan masa depan Orangutan di Rawa Tripa --sebuah lansekap hutan gambut di ujung barat Sumatera yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser, Aceh. 

Suratman semakin miris saat ia mengetahui fakta, bahwa banyaknya Orangutan yang mati dalam 30 tahun terakhir, ternyata sulit tergantikan secara alami. Karena para betina hanya memiliki satu anak saja dalam setiap kelahiran yang dikandung selama 8-9 bulan. Sehingga tingkat penambahan individu Orangutan setiap tahunnya sangat rendah, yang membuat populasi mereka makin rentan.

Bahkan meski hanya 1 persen betina yang hilang setiap tahun dalam satu kawasan oleh berbagai penyebab yang tidak wajar, dapat menempatkan populasi pada lintasan yang tidak dapat diubah menuju kepunahan.

“Di Rawa Tripa, kasus kematian Orangutan bukan hanya disebabkan oleh tekanan akibat alihfungsi lahan, tapi juga karena mereka terisolasi, mereka kehilangan sumber makanan, mereka diburu, mereka ditembaki karena dianggap hama. Mungkin generasi mendatang tidak akan pernah lagi melihat Orangutan di Rawa Tripa ini,” tukas Suratman.

Tim mengevakuasi orangutan di Darul Makmur, Nagan Raya, Sabtu (25/9/2021). (Foto Kiriman Yulham)

Hutan Menjadi Kebun, Kebun Menjadi Neraka

Rawa Tripa adalah kawasan hutan hujan dataran rendah yang amat kaya dengan keanekaragaman hayati. Jaringan Masyarakat Gambut Aceh (JMGA) mencatat, luas kawasan Rawa Tripa mencapai 60.657,29 Hektare, yang membentang di Kabupaten Nagan Raya (37.287 Ha) hingga Aceh Barat Daya (25.941 Ha).

Berbagai tumbuhan khas hutan hujan tumbuh subur di sini. Seperti Pohon Ara (Ficus Sp), mangga, durian, cempedak dan banyak lagi pohon buah-buahan hutan yang menjadi sumber pakan alami satwa liar.

Masyarakat yang tinggal di sekitar Rawa Tripa pun hidup sejahtera dari menjual hasil hutan seperti madu, nira, rotan, umbi-umbian, pucuk pakis, udang, lokan, limbek (sejenis ikan lele), dan beragam hasil alam lainnya yang memiliki nilai ekonomis.

Satwa liar yang mendiami Rawa Tripa pun sangat beragam. Bahkan beberapa satwa liar yang jarang dijumpai di tempat lain seperti burung merak dan macan kumbang, ada di sini. Termasuk Orangutan Sumatra (Pongo abelii), primata langka yang sering disebut 'sepupu dekat' manusia karena 97 persen DNA-nya sama dengan homo sapiens.

“Di era 1980-an, hutan di Rawa Tripa masih sangat lebat, ada ribuan Orangutan hidup di sini, tapi sekarang hanya beberapa Orangutan yang tersisa,” kata Suratman, Ketua Lembaga Mulieng, yang di masa mudanya sering masuk-keluar hutan Rawa Tripa untuk mencari madu dan rotan.   

Menurutnya, kala itu, hanya segelintir warga yang berani masuk ke pedalaman hutan. Kebanyakan masyarakat hanya beraktivitas di pinggirannya saja. “Sebab, hutannya sangat lebat dan banyak sekali hewan liar. Sehingga masyarakat akan sangat resah jika selepas magrib masih ada warga yang belum kembali dari hutan,” ungkap Suratman untuk menggambarkan betapa lestarinya hutan di Rawa Tripa.

Tapi, itu dulu, sekitar empat puluh tahun yang lalu. “Sekarang hutan itu sudah menjadi neraka bagi satwa liar yang hidup di dalamnya,” timpal Indri, seorang pegiat lingkungan yang dijumpai Serambinews.com, ketika ia mendengar cerita nostalgia dari Suratman. 

Indri yang dalam 35 tahun terakhir terlibat aktif mencegah kerusakan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser, malah mengungkapkan bahwa laju kerusakan hutan di Rawa Tripa sangat massif. Bahkan bisa membuat kita takjub dengan kemampuan manusia dalam menghancurkan alam. “Ekosistem hutan yang terbentuk dalam waktu ribuan tahun, mampu dihancurkan manusia dalam waktu kurang dari 30 tahun,” kata Indri.

Halaman
1234

Berita Terkini