Liputan Khusus

Masih Layakkah Rawa Tripa sebagai Habitat Orangutan?

Editor: Taufik Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Meski pemerintah sudah melarang tindakan pembakaran dalam kegiatan pembukaan lahan, metode Slash and Burn masih terus digunakan. Bahkan hingga tahun 2022, pembakaran lahan masih terus terjadi.

“Pembakaran di lahan gambut yang sudah dikeringkan airnya, sering kali tak mampu dikontrol hingga berakibat fatal. Malah pernah sampai membakar barak pekerja PT SPS II. Meski sudah ada perusahaan yang diproses hukum karena pembakaran lahan, tapi metode Slash and Burn masih dilakukan sampai sekarang,” ungkap Indri.

Kini, ribuan hektare hutan gambut di Rawa Tripa menghilang bersama ribuan satwa liar yang dulu pernah hidup di dalamnya. Tak ada lagi merak yang menari memikat pasangan, tak ada lagi macan kumbang yang tidur di dahan, tak ada lagi Orangutan yang bergelantungan. Rawa Tripa kini adalah barisan pohon sawit ‘bengkok’ karena dipaksa tumbuh di lahan gambut, yang selalu banjir saat hujan dan terus terbakar saat kemarau.

Hamparan kebun sawit di Rawa Tripa, Nagan Raya (ist)

Populasi Orangutan Rawa Tripa Diambang Kepunahan

Di tahun 1990, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mencatat ada 3.000 individu Orangutan yang hidup liar di hutan Rawa Tripa. Pada tahun 2012, jumlah Orangutan di kawasan itu berkurang drastis hingga tersisa 250-300 individu.

“Saat ini, kami memperkirakan jumlah Orangutan di Rawa Tripa tidak lebih dari 200 individu,” kata Panut Hadisiswoyo, dari Orangutan Information Center (OIC) yang dihubungi Serambinews.com, Jumat (10/3/2023).

Itu artinya, hanya dalam tiga dekade, jumlah Orangutan yang hilang dari kawasan itu mencapai 2.800 individu.

“Orangutan bukan satwa yang banyak diburu untuk diperdagangkan organ tubuhnya seperti harimau atau gajah. Bukan juga satwa liar yang dikonsumsi dagingnya seperti rusa atau kambing hutan. Juga bukan jenis hewan yang sering dipelihara untuk hobi atau status sosial seperti burung atau ikan hias. Jadi, tingkat perburuan Orangutan oleh manusia sebenarnya tidaklah tinggi. Mereka juga jauh dari jangkauan predator alami karena biasa beraktivitas di pepohonan yang tinggi dan jarang turun ke tanah. Karena itu, bisa dipastikan bahwa tingginya tingkat kematian Orangutan di Rawa Tripa disebabkan rusaknya habitat mereka dalam skala yang amat sangat parah,” kata Irwan, pegiat lingkungan di Nagan Raya yang mendedikasikan dirinya untuk penyelamatan Orangutan Rawa Tripa.

Meski sudah lama berkecimpung dalam dunia konservasi, namun ia mengaku baru beberapa tahun ini fokus pada upaya penyelamatan Orangutan. Dan untuk seseorang yang ‘baru’ sekalipun seperti Irwan, kematian satwa dilindungi yang mencapai ribuan dalam waktu 30 tahun tetap saja tidak masuk akal.

“Masyarakat internasional sudah berupaya melindungi Orangutan di Indonesia sejak 1931. Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi CITES (Convention on International Trade of Endangered Species) sejak 1978, dan Undang-Undang tentang Konservasi SDA dan Ekosistemnya sudah dibuat sejak 1990. Bagaimana bisa 2.800 Orangutan hilang dari habitatnya yang hanya seluas 60 ribu hektare?” tanya Irwan entah ke siapa.

Pada Februari 2023, Serambinews.com mencoba melihat langsung kondisi habitat Orangutan yang tersisa di Rawa Tripa. Lokasi yang dituju berada di Desa Gunung Samarinda, Kecamatan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) yang berbatasan dengan Kabupaten Nagan Raya.

Lokasi ini dipilih secara acak, karena kebetulan ada warga mengaku pernah melihat Orangutan berkeliaran di kawasan itu dan sering melihat sarang Orangutan di sana, dan pastinya cukup jauh dari area perkebunan sawit.

Setelah mengisi perut yang kosong di Rumah Makan Adik Kakak di seberang SMPN 4 Babahrot, kami pun bergerak ke arah utara menggunakan sepeda motor menyusuri jalan tanah di antara kebun warga.

Setelah menempuh perjalanan selama 47 menit, kami berhenti dan mencari dataran yang lebih tinggi untuk mengamati lingkungan sekitar. Di sebelah timur, terlihat jelas kawasan hutan yang baru dibuka dan masih menyisakan bekas pembakaran. “Tidak mungkin ada Orangutan di sini,” kata Fikri, teman yang menjadi penunjuk jalan.

Kami pun mengambil langkah ke barat hingga bertemu aliran sungai Seumayam Cut, lalu menyusur ke hulu. Tak banyak pepohonan besar di sini, tapi terlihat ada beberapa pohon Ara (Ficus Sp) yang buahnya digemari Orangutan.

Halaman
1234

Berita Terkini