Setelah dua jam berjalan, kami melihat beberapa sarang Orangutan di pepohonan yang tingginya hanya 7-8 meter. Sarang itu tampak masih baru, dan ada yang berukuran kecil. Mungkin dibuat oleh anak Orangutan yang sedang belajar membuat sarang.
Membuat sarang adalah aktivitas harian Orangutan di alam liar, yang digunakan untuk istirahat siang dan tidur malam. Esoknya, mereka akan membuat sarang lain.
Biasanya, sarang Orangutan dibuat di kanopi pepohonan sehingga jauh dari jangkauan predator. Sarang itu dibuat dengan memelintir ranting-ranting lunak dan menutupinya dengan dedaunan hingga berbentuk bulat. Di dalam sarang itu akan ditumpuk ranting kering dan dedaunan sebagai tempat untuk duduk dan tidur.
Perilaku Orangutan hampir secara eksklusif arboreal, yang artinya hidup di antara pepohonan hutan. Betina hampir tidak pernah bepergian di tanah dan jantan dewasa pun jarang melakukannya. Itu sebabnya, sarang Orangutan hampir tidak pernah ditemukan di sekitar permukaan tanah.
Perilaku ini tidak hanya milik Orangutan Sumatra. Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) juga memiliki perilaku yang sama, meski kedua sub-spesies ini sudah terpisah sejak ribuan tahun lalu.
Saat ini, keberadaan kedua spesies Orangutan di alam liar sangat terancam dan rentan terhadap kepunahan. Pada tahun 2002, lembaga International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) menetapkan Orangutan Kalimantan berstatus “endangered” (genting). Sementara untuk Orangutan Sumatra yang kondisinya lebih kritis, IUCN memasukkannya dalam kategori “critical endangered” (kritis).
Setelah tiga jam menjelajah hutan Babahrot, perjalanan kami mencari keberadaan Orangutan pun terhenti oleh tatapan sinis dari seorang pendodos sawit yang menenteng senapan angin.
Dengan alasan sebentar lagi akan turun hujan, pekerja kebun yang mengaku berasal dari Nias itu pun ‘menggiring’ kami ke luar dari hutan sambil memamerkan senapan angin merk Night Furry di pundaknya.
Tidak ada bincang-bincang hangat di antara kami. Dan kami pun langsung pergi, bahkan berharap tidak bertemu Orangutan saat berjalan bersama orang yang membawa senapan angin pemburu kaliber 4.5 mm itu.
Translokasi Orangutan Solusi Terbaik?
Rabu 15 Maret 2023, satu induk Orangutan bersama anaknya dievakuasi dari kebun sawit di Babahrot, Abdya, oleh relawan organisasi lingkungan dan petugas BKSDA Aceh. “Mungkin ini Orangutan yang sarangnya pernah kita lihat dulu, Bang,” kata Fikri, teman yang menjadi penunjuk jalan saat Serambinews.com mencari keberadaan Orangutan di Hutan Babahrot, sebulan lalu.
Fikri mengaku lega, induk dan anak Orangutan itu diamankan sebelum ditembaki sampai mati, karena dianggap hama yang sering memakan pucuk sawit –-sebuah perubahan perilaku Orangutan yang biasanya memakan buah-buahan.
Di tahun 2022, ada 4 individu Orangutan dari Nagan Raya dan Abdya yang dievakuasi dari lokasi terkurung di antara kebun sawit dan rawa. Karena tidak ada koridor yang aman bagi mereka yang menghubungkan satu kawasan hutan di Rawa Tripa dengan hutan di bagian pegunungan. Bahkan sempadan sungai pun kini dipenuhi tanaman sawit.
Pada Agustus 2018, satu Orangutan berumur 30-35 tahun juga dievakuasi dari Desa Blang Me, Kecamatan Kuala Batee, Abdya, karena terjebak di kebun sawit setelah terdesak dari habitatnya yang sering terbakar di Rawa Tripa.
Dalam beberapa tahun terakhir, jika ada Orangutan yang ditemukan di Rawa Tripa dan sekitarnya, mereka akan diambil untuk dipindahkan ke Stasiun Reintroduksi Orangutan (SRO) di Jantho, Aceh Besar. Sejak tahun 2018 hingga 2023 saja, sudah 282 individu yang dipindahkan ke SRO Jantho untuk adaptasi dan kemudian dilepasliarkan di hutan Cagar Alam Jantho.
Pemindahan (translokasi) Orangutan yang terjebak di kebun sawit dan permukiman warga ke lokasi lain yang lebih aman, belakangan lebih sering dilakukan karena dianggap sebagai solusi terbaik yang bisa dilakukan saat ini, untuk menghindari kepunahan akibat mati tercebur di rawa, atau mati terkena jerat, atau mati tertembak senapan angin, atau bahkan mati terpanggang saat terjadi kebakaran hutan.
Peristiwa kematian Orangutan di Rawa Tripa sudah sering terjadi. Seperti pada tahun 2012, satu Orangutan dewasa ditemukan mati di kawasan Darul Makmur, Nagan Raya, dengan puluhan proyektil senapan angin di tubuhnya.
Ketua Lembaga Muling, Suratman, juga mengaku pernah menemukan tengkorak primata yang terpanggang di lokasi bekas kebakaran hutan di Nagan Raya pada 2013. Dia meyakini itu adalah tengkorak Orangutan. Namun untuk membuktikannya, harus melalui uji laboratorium yang tak mungkin dilakukan Suratman.
“Saya sudah menyampaikan informasi itu ke pihak berwenang, karena saya yakin itu tengkorak anak Orangutan yang mati terpanggang, bukan tengkorak monyet. Tengkorak itu kemudian diambil oleh petugas tapi kemudian tidak ada informasi lanjutan, apakah diperiksa di laboratorium atau dibawa kemana, saya tidak tau,” ujarnya.
Suratman menambahkan, banyak kasus kematian Orangutan di Nagan Raya dan Abdya. Namun jarang terekspose, bahkan terkesan sengaja disembunyikan. Sebab, selain akan berdampak hukum bagi sejumlah pihak, hal ini juga akan menjadi aib bagi instansi terkait. Karena akan sangat menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam hal penyelamatan satwa dilindungi. Bahkan bisa menuai kecaman dari lembaga donor internasional yang selama ini banyak membiayai kegiatan konservasi di Indonesia.
Jika melihat dari aspek ancaman yang tinggi dan dampaknya terhadap Orangutan Rawa Tripa yang kehilangan habitatnya, upaya translokasi ini bisa jadi merupakan solusi terbaik yang cukup realistis untuk dilakukan. Tapi, membiarkan seluruh Orangutan menghilang dari habitat aslinya di Rawa Tripa, mungkin akan menjadi preseden buruk bagi pemerintah dan instansi yang dibentuk untuk menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Karena itu, Pemerintah melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh masih menaruh harapan agar populasi Orangutan di Rawa Tripa dapat dipertahankan, khususnya di area seluas 11.000 hektare yang berstatus lindung untuk ditetapkan sebagai hutan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value), dengan bergantung pada komitmen dari perusahaan-perusahaan pemegang konsesi di kawasan Rawa Tripa yang selama 30 tahun sudah terbiasa merusak hutan.
“Di areal yang ada saat ini, selain ada komitmen pemilik konsesi untuk ditetapkan sebagai areal bernilai konservasi tinggi, tetap dipertahankan terhubung dengan hutan lindung di sekitarnya yang diharapkan dapat dijadikan koridor bagi Orangutan untuk bergerak, tidak terisolir di satu lokasi. Kami mendorong penetapan areal bernilai konservasi tinggi, tapi saya belum tau apa saat ini sudah ditetapkan apa belum,” kata Kepala BKSDA Aceh, Gunawan Alza yang baru dilantik Jumat (17/2/2023) menggantikan Agus Arianto yang kini menjabat Kepala BKSDA DKI Jakarta.
Pernyataan yang terdengar lebih diplomatis disampaikan Irmayuni, staf BKSDA Aceh untuk bidang Pengendali Ekosistem Hutan, ketika Serambinews.com menanyakan kepadanya: apakah Rawa Tripa masih layak sebagai habitat Orangutan?
Irmayuni menjawab, “Sebenarnya masih layak jika tutupan sisa hutan tidak lagi dibuka, tapi dikelola sebagai HCV (High Conservation Value) khususnya yang berada di dalam area konsesi. Dan sisa hutan yang berada di luar area konsesi ditetapkan sebagai Kawasan Lindung Gambut. Untuk itu, diperlukan komitmen parapihak dalam kawasan untuk mewujudkan area bernilai konservasi tinggi. Diperkuat dengan pembangunan koridor hidupan liar yang menghubungkan sisa tutupan hutan tersebut ke kawasan yang tutupan hutannya lebih luas,” ujarnya.
Jika pertanyaan yang sama ditujukan kepada Anda, bagaimana jawaban Anda. Masih layakkah Rawa Tripa sebagai habitat Orangutan?(*)