Keberadaan Orangutan di Rawa Tripa adalah bukti bahwa kawasan gambut Tripa terbentuk dalam waktu yang sangat lama. Juga dibuktikan dengan lapisan gambutnya yang tebal, bahkan ada yang mencapai 5 meter.
Beberapa literatur yang bersumber dari catatan fosil para ahli, menyebutkan bahwa Orangutan berasal dari daratan Asia di suatu tempat di Pegunungan Himalaya (Hooyer 1948; von Koningswald, 1981 dalam Rijksen & Meijaard, 1999). Hingga akhir jaman Pleistosen (2 juta-10.000 tahun yang lalu), orangutan masih ditemukan di sebagian besar hutan dataran rendah Asia Tenggara seperti Vietnam Utara, Myanmar dan Indonesia.
Saat lapisan es yang menutupi bumi mulai mencair, koloni Orangutan terperangkap di beberapa pulau besar seperti Sumatera dan Kalimantan (Borneo). Orangutan Sumatra dan Orangutan Kalimantan ini pun terpisah secara geografis paling sedikit sejak 10.000 tahun yang lalu, saat terjadi kenaikan permukaan laut antara kedua pulau itu (Delgado& van Schaik, 2000, Groves, 2001, Zhang et al., 2001).
“Karena Orangutan adalah spesies payung (umbrella species) yang berperan penting dalam membangun dan menjaga ekosistem hutan dengan memencarkan biji-biji dari tumbuhan yang dikonsumsinya, maka bisa jadi ekosistem hutan di Rawa Tripa ini terbentuk seiring dengan adanya Orangutan yang mendiami kawasan itu sejak ribuan tahun lalu,” tukas Indri.
Sangat disayangkan, proses panjang terbentuknya ekosistem hutan di Rawa Tripa hancur seketika sejak masuknya industri perkebunan sawit di kawasan itu pada tahun 1994. Saat itu, ada lima perusahaan besar yang mendapat izin konsesi menggarap lahan di kawasan gambut Tripa. Yakni PT Agra Para Citra, PT Gelora Sawita Makmur, PT Patriot Guna Sakti Abadi II, PT Kallista Alam, dan PT Cemerlang Abadi yang masing-masing mendapat izin mengelola lahan seluas 5.000 hingga 14.000 hektare.
Saat izin HGU diberikan, sebagian besar lahan itu masih berupa hutan primer dan hutan sekunder. Sebagian lahan masuk dalam kawasan permukiman penduduk, sebagiannya lahan transmigrasi, dan sebagian lainnya adalah kebun warga yang kemudian diserobot oleh perusahaan perkebunan, sebab dianggap lahan tidur yang ditinggalkan warga saat konflik Aceh berkecamuk.
“Tahun 1998, saya masuk ke hutan Rawa Tripa untuk melakukan pemantauan. Saat itu aktivitas pembukaan lahan sudah berjalan, namun kondisi tutupan hutan masih baik, pepohonan besar masih banyak dengan tingkat kerapatan yang tinggi. Jumlah Orangutan di kawasan itu kami perkirakan mencapai 3.000 individu,” kata Indri.
Berselang 10 tahun kemudian, seiring dengan dimulainya program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) di tahun 2008, Indri kembali melakukan pemantauan di kawasan yang sama. Betapa terkejutnya ia saat melihat kondisi hutan yang dulu dilihatnya masih lebat, kini sudah rata sejauh mata memandang.
“Saat itu, kami mencatat ada 50 unit beko yang beroperasi di kawasan Rawa Tripa, termasuk di Kuala Batee dan Babahrot (Abdya). Bahkan bagian rawa yang terendam air cukup dalam, mampu dikeringkan dan bisa ditanami sawit,” ungkap Indri.
Ternyata pihak perusahaan perkebunan melihat lahan gambut sebagai lahan potensial yang sangat menguntungkan. Karena kawasan ini memiliki kelimpahan air dengan unsur hara yang tinggi. Mereka pun belajar dengan cepat bagaimana merekayasa lahan estuaria menjadi kebun sawit yang produktif.
Pengetahuan tentang teknik land clearing di lahan gambut pun mengalami kemajuan pesat. Cara-cara konvensional seperti melakukan penebangan menggunakan chainsaw dengan mempertimbangkan konservasi tanah dan air, mulai ditinggalkan.
Teknik pembersihan lahan pun beralih menggunakan metode Slash and Burn, dengan membuldozer seluruh vegetasi, mengeringkan lahan dengan cara mengalirkan air melalui kanal buatan, kemudian dibakar.
“Metode Slash and Burn ini mulai populer di Nagan Raya dan Abdya sejak tahun 2008, karena persentase areal yang dibersihkan akan lebih besar dengan biaya lebih murah daripada metode tanpa bakar. Jadi, tidak ada istilah lahan terbakar saat pengerjaan forest land clearing. Itu memang sengaja dibakar sesuai prosedur kerja slash and burn,” ungkap Indri.
Penggunaan teknik Slash and Burn memang menguntungkan perusahaan, namun sangat merusak lingkungan. Karena akan meningkatkan laju erosi, mengurangi infiltrasi air, menyebabkan rusak dan hilangnya mikrofauna dan mikroflora, merusak kondisi fisik dan kimia tanah, hilangnya fungsi penyerap karbon, dan menimbulkan polusi udara.
Pada lahan gambut, metode pembakaran seperti ini akan berdampak lebih parah, karena membuat hilangnya bahan organik pada tanah atau lantai hutan yang sudah terbentuk sejak ribuan bahkan jutaan tahun. Iklim mikro di hutan yang terbentuk dalam waktu lama dengan fluktuasi yang kecil, akan berubah secara drastis dengan fluktuasi yang besar, sehingga menimbulkan perubahan iklim lokal secara mendadak. Penglepasan karbondioksida dalam jumlah besar, akhirnya meningkatkan emisi gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global.