Ketika Aceh kembali menjadi provinsi, Soekarno mengangkat Ali Hasymi sebagai gubernur untuk masa waktu 7 tahun yang kemudian tercatat sebagai tahun-tahun berakhirnya pemberontakan DI/TII.
Hasymi mendapatkan kepercayaan dan dukungan penuh dari Soekarno.
Menurut sebuah sumber, pergantian Hasymi pada tahun 1964, tidak lepas dari pengaruh partai PNI Aceh yang memprovokasi Soekarno.
PNI Aceh menuduh Hasymi sebagai orang yang tak bersih secara ideologi, karena kedekatannya sebelum pemberontakan Aceh dengan Daud Beureueh.
Padahal kesalahan Hasymi menurut sejumlah pihak, tak lain karena “keindonesiaan,” “keacehan”, dan keislamannya telah menyatu dengan prima, baik dalam kepribadian dan juga kepemimpinannya dalam menjalankan pemerintahan Aceh pada masa itu.
Atas desakan PNI kepada presiden Soekarno dan lobi yang dibangun dengan Jenderal Ahmad Yani, ditunjuklah Kolonel Nyak Adam Kamil sebagai Gubernur Aceh dari 1964-1966.
Dengan Nyak Adam Kamil sebagai gubernur yang praktis netral, PNI berharap, Aceh yang menjadi basis partai-partai Islam pascapembubaran Masyumi akan mudah beralih ke kubu nasionalis- terutama PNI.
Taktik PNI tak lain, karena memang sebelum menjabat gubernur Aceh, Hasymi tercatat sebagai salah satu tokoh penting PSII-Partai Syarikat Islam Indonesia, di Jakarta. (Bersambung)
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI