Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
KETOKOHAN Gus Dur yang hanya memerintah Indonesia selama sekitar satu tahun adalah gempa tektonik besar yang merubah lansekap kehidupan kebangsaan dan politik nasional, tak terkecuali Aceh.
Keputusannya menghapus dwifungsi ABRI adalah sejarah besar yang akan menghiasi sejarah Indonesia modern.
Ada cukup banyak kebijakan lain, yang pada dasarnya lebih bermuatan, pemutusan total negara bangsa dari model kebijakan politik dan pemerintahan Orde Baru.
Terhadap Aceh, Gus Dur punya sejumlah kebijakan yang tak biasa, dan bahkan benar-benar terbalik 180 derajat dari kebijakan pemerintah sebelumnya.
Ia menginisiasi langkah langkah awal yang cukup berani yang kemudian menjadi cikal bakal dan peta jalan penyelesaian pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka.
Hanya karena Gus Dur lah, keterlibatan pihak asing dalam perundingan perdamaian pemberontakan Aceh dengan pemerintah pusat terjadi.
Tak peduli dengan keberatan berbagai pihak, Gus Dur mengundang LSM perdamaian internasional, Henry Dunant Center untuk masuk ke Aceh dan memfasilitasi perundingan.
Yang terjadi setelah itu adalah sejarah yang terus berlanjut.
Gus Dur telah melanggar tabu yang seolah kekal dalam mengatasi kekacauan politik dalam negeri, teruatama pemberontakan, dengan mengundang pihak asing untuk menjadi mediator untuk menyelesaikan konflik bersenjata di Aceh.
Usaha yang dimulai Gus Dur akhirnya dicapai oleh SBY-JK enam tahun kemudian, melalui jasa baik Martti Ahtisaari dengan lembaga nonnegara Finlandia, CMI- Crisis Management Initiative.
Gus Dur juga dengan sangat berani membuat kebijakan pelaksanaan syariat Islam di Aceh melalui UU No. 44 Tahun 1999, yang kemudian diadopsi kembali oleh pemerintah dan DPR RI dalam UU No 11 Tahun 2006.
Tidak berhenti di situ, banyak yang tidak tahu, Gus Dur juga menempih kebijakan tidak biasa dalam pemberhentian dan pengangkatan gubernur Aceh.
Ketika ormas SIRA yang dipimpin oleh Mohammad Nazar,- kemudian setelah damai menjadi wakil gubernur Aceh, mengadakan pertemuan akbar masyarakat dalam acara Sidang Umum Masyarakat Pejuang Refrendum (SU-MPR) cukup banyak masyarakat Aceh tumpah ruah datang ke Banda Aceh untuk mengikuti acara dimaksud.
Pengerahan massa itu barangkali yang terbesar dalam sejarah Aceh semenjak kemerdekaan RI 1945.