Jenderal Soeryadi itu memang pernah bertugas lama di Aceh, ketika memulai karirnya sebagai prajurit TNI AD di Bireuen dan Kuala Simpang.
Soeryadi kemudian menghubungi kontaknya, salah satu tokoh Aceh untuk mencari dukungan penunjukan Ramli dari akar rumput, terutama dari tokoh masyarakat, akademisi, dan ulama.
Orang yang diminta itu, tak berani turun ke bawah, karena intensitas konflik GAM dengan TNI yang semakin meningkat.
GAM pasti tidak menyukai itu, dan akhirnya upaya itu gagal.
Akhirnya Soeryadi membuat terobosan dengan meminta surat dukungan dan rekomendasi dari kepala “suku Aceh” di Jakarta, Bustanil Arifin.
Tanpa menunggu lama pak Bus menulis rekomendasi untuk Ramli Ridwan sembari menyebutkan alasannya sebagai putra Aceh tulen, dan, birokrat yang sangat mengerti politik Aceh.
Bustanil juga menambahkan Ramli sebagai mantan bupati berpengalaman di salah satu pusaran konflik Aceh, di Aceh Utara.
Ketika surat Bustanil diterima Soeryadi, ia sangat senang, karena sebagian tugas yang diberikan Gus Dur telah dipenuhi.
Tak lama setelah itu, Ramli Ridwan, kepala Biro Umum Departemen Dalam Negeri dilantik sebagai pejabat gubernur Aceh menggantikan Syamsudin Mahmud.
Ketika ada orang mepertanyakan tentang kualifikasi Ramli yang tidak memenuhi syarat itu kepada Soeryadi, sang menteri itu mempersilakan yang keberatan bertanya langsung ke Gus Dur.
Tak ada seorangpun yang berani bertanya apalagi mempersoalkan penunjukan Ramli oleh Gus Dur.
Semua orang tahu, setiap kebijakan yang diambil Gus Dur yang “tak biasa”, “tak patut”, bahkan “tabu”, respons sang presiden pasti dijawab dengan nada lawak dan guyon, dan kadang nyeleneh.
Tak jarang jawaban Gus Dur menyakitkan, atau langsung marah, sembari menarik napas panjang yang mengindikasikan ekspresi emosinya.
Gus Dur memang terkenal nekad, terutama ketika ia membuat sejumlah keputusan yang kontroversial.
Ramli bertugas selama sekitar enam bulan, sembari mempersiapkan pemilihan gubernur definitif via DPRD.