Amerika Serikat Janji Pengungsi Rohingya Bakal Jadi Prioritas Pada 2024: Welcome Corps at Work
SERAMBINEWS.COM – Memburuknya situasi di Cox’s Bazar, Bangladesh dan banyaknya penolakan di negara-negara Asia Tenggara, membuat kehidupan pengungsi Rohingya memprihatinkan.
Selain itu, tidak ada harapan bagi mereka untuk bisa kembali ke negeranya, Myanmar.
Etnis Rohingya menjadi pengungsi paling menyedihkan yang ada saat ini.
Amerika Serikat (AS) telah mengakui situasi Rohingya sebagai sebuah “prioritas” dan berjanji untuk terus meningkatkan jumlah warga Rohingya yang dimukimkan kembali pada tahun 2024.
Pengungsi Rohingya yang saat ini banyak tersebar di berbagai negara Asia Tenggara, Bangladesh, hingga India bakal mendapat Program Penerimaan Pengungsi Amerika Serikat (USRAP) pada 2024.
AS juga mendorong negara-negara ketiga untuk memperluas pemukiman kembali warga Rohingya, kata Departemen Luar Negeri AS pada Jumat (22/12/2023).
Janji-janji baru dari Amerika Serikat diumumkan pada Forum Pengungsi Global (GRF) 2023.
AS berjanji untuk terus menggunakan pengalamannya dalam memukimkan kembali pengungsi Rohingya dan mendorong negara-negara lain melakukan perluasan atau penciptaan solusi negara ketiga yang baru bagi pengungsi Rohingya.
Amerika Serikat berjanji melalui Welcome Corps at Work, sebuah program mobilitas tenaga kerja baru bagi para pengungsi di dalam Welcome Corps, untuk fokus pada pengungsi Rohingya yang mendapatkan akses terhadap pekerjaan di Amerika Serikat.
Mereka juga berjanji untuk mendukung upaya memperluas program yang menawarkan pelatihan berhitung, melek huruf, dan kejuruan serta sertifikasi keterampilan formal bagi pengungsi Rohingya dan masyarakat AS.
Hal ini mencakup keterlibatan dengan pelaku sektor swasta yang dapat menyumbangkan dukungan finansial, natura, atau teknis untuk program-program ini.
Dalam pertemuan GRF itu, AS mengumumkan 26 komitmen terhadap delapan janji multi-stakeholder yang menunjukkan kepemimpinan AS dalam memenuhi kebutuhan para pengungsi dan masyarakat lokal di masa krisis ini.
AS juga mempelopori tindakan tingkat tinggi dengan beragam mitra global, memperkuat peluang pemukiman kembali pengungsi global, dan mendorong tanggapan dan solusi yang lebih komprehensif dan inovatif terhadap kebutuhan pengungsi dan masyarakat loka.
Ketika konsultasi mengenai Global Compact on Refugees dimulai pada tahun 2016, jumlah orang yang terpaksa mengungsi di seluruh dunia berjumlah 65,6 juta orang.
Sejak saat itu, setiap tahunnya telah terjadi rekor jumlah pengungsi tertinggi yang pernah tercatat.
Pengungsi paksa secara global meningkat pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) memperkirakan pada Desember 2023, lebih dari 130 juta orang terpaksa mengungsi atau kehilangan kewarganegaraan di seluruh dunia.
“Bagi komunitas internasional, kebutuhan untuk memperluas basis dukungan bagi pengungsi di seluruh dunia sangatlah mendesak,” kata AS.
Amerika Serikat menegaskan kembali komitmennya terhadap Global Compact on Refugees dan menggarisbawahi dedikasinya dalam memperjuangkan perlindungan dan solusi pengungsi.
Jatah Makan Pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar Naik Mulai Januari 2024
Program Pangan Dunia PBB (WFP) akan meningkatkan jatah makanan untuk setiap pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh pada tahun depan.
WFP akan menaikan jatah makan setiap orang pengungsi Bangladesh dari USD 8 (Rp 124 ribu – kurs Rp 15.520) menjadi USD 10 (Rp 155 ribu) mulai bulan Januari 2024.
Hal itu diungkapkan Direktur WFP di Bangladesh, Dom Scalpelli yang dikutip dari kantor berita Dhaka Tribune, Jumat (15/12/2023).
“Dengan pendanaan yang diterima sejauh ini, kami akan dapat meningkatkan hak pangan dari USD 8 menjadi USD 10, mulai Januari 2024,” ujarnya.
Pihaknya mengaku senang mendengar kabar kenaikan jatah makan untuk para pengungsi Rohingya ini.
Dia berharap, para donatur seperti Amerika Serikat dan negara-negara donatur lainnya dapat terus memberi dana kepada WFP, sehingga kehidupan dan kebutuhan dasar Rohingya dapat dijamin
“Kami sangat senang dengan perkembangan positif ini dan berharap para donor akan terus mendanai kami untuk menjamin kebutuhan dasar Rohingya terpenuhi,” papar Dom Scalpelli.
Dikatakannya, WFP menyambut baik kontribusi baru sebesar USD 87 juta dari Biro Bantuan Kemanusiaan (BHA) Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID).
Ia mengungkapkan, pendanaan yang tepat waktu ini akan secara signifikan mendukung upaya WFP dalam memberikan bantuan penyelamatan nyawa kepada pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar dan di Pulau Bhasan Char.
Di mana selama ini hampir satu juta orang menghadapi kesulitan setiap harinya, dan mereka dipastikan tidak dapat kembali untuk mendiami negara asalnya, Myanmar.
“Seperti yang telah kita lihat di kamp-kamp pengungsian, situasinya tetap memprihatinkan bagi warga Rohingya, yang telah melalui krisis demi krisis,” kata Reed Aeschliman, direktur misi USAID di Bangladesh,
Ia melakukan kunjungan ke kamp Cox’s Bazar pada Rabu (13/12/2023) untuk menyaksikan situsa di kawasan itu.
Meskipun Amerika Serikat menjadi donatur utama terhadap pera pengungsi, Aeschliman menyadari bahwa tahun ini merupakan tahun yang penuh tantangan bagi para pengungsi.
“Kita tidak boleh mengabaikan kebutuhan warga Rohingya, atau masyarakat lokal yang murah hati di Bangladesh. Hal ini memerlukan dukungan berkelanjutan dari pemerintah, donatur, dan mitra pembangunan,” sebutnya.
Kini memasuki tahun ketujuh pengungsi Rohingya di kamp tersebyt, mereka masih berada dalam situasi yang sangat berbahaya dengan terbatasnya kebebasan bergerak, kurangnya kesempatan kerja dan meningkatnya ancaman keamanan.
Kamp-kamp tersebut juga rentan terhadap bahaya, termasuk bencana terkait iklim seperti angin topan dan banjir.
Kekurangan dana yang akut memaksa WFP untuk memotong bantuan makanannya untuk seluruh populasi Rohingya di kamp-kamp Cox’s Bazar.
Sehingga mengurangi hak yang diberikan dari USD 12 per orang menjadi USD 10 pada Maret 2023, dan kemudian kembali dikurangkan menjadi USD 8 pada Juni.
Sejak pengurangan jatah makanan, situasi ketahanan pangan di kamp-kamp pengungsian memburuk dengan cepat.
Pemantauan terbaru WFP pada November mengungkapkan bahwa 90 persen populasi pengungsi di Cox’s Bazar tidak memiliki konsumsi makanan yang cukup.
Keluarga harus bergantung pada makanan yang lebih murah namun kurang bergizi, sementara orang tua makan lebih sedikit atau tidak makan hanya untuk memberi makan anak-anak mereka.
Status gizi anak juga semakin memburuk di kamp tersebut.
Dibandingkan dengan tahun lalu, pada bulan September, analisis menunjukkan bahwa terdapat lebih banyak anak yang dimasukkan ke dalam program pengobatan untuk malnutrisi akut berat dan sedang.
Pendanaan BHA akan digunakan untuk memberikan bantuan makanan kepada Rohingya, serta untuk pekerjaan WFP di bidang nutrisi.
Dana itu juga digunakan untuk pembangunan ketahanan dan pengurangan risiko bencana di Cox’s Bazar dan Bhasan Char.
Selain itu, hampir 8.000 anak-anak dan 4.000 wanita hamil dan menyusui di lingkungan Cox’s Bazar akan didukung melalui program nutrisi WFP.
WFP juga berencana untuk memperkenalkan panganan kaya nutrisi ke dalam piring nasi di Cox's Bazar pada awal tahun 2024.
WFP mengaku membutuhkan USD 79 juta lagi untuk mengembalikan jatah penuh. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)