Apa yang unik dengan desentralisasi asimetris dalam kasus Aceh adalah, bahwa daerah ini mendapat perlakuan yang berbeda dibandingkan dengan berbagai propinsi lain di Indonesia.
Aceh berbeda dalam konteks agama dan budaya Aceh juga mendapat perlakuan berbeda dalam hal ekonomi, khususnya sumber daya alam.
Disamping dua hal diatas, Aceh juga mendapat kekhususan asimetris yang berbeda dari propinsi lain dalam hal politik, dan sampai dengan tingkat tertentu, dalam administrasi pemerintahan.
Lebih dari itu Aceh mendapat perlakuan khusus dalam hal pembagian keuangan dengan tambahan dana khusus setara dengan 2 persen dari pagu DAU nasional selama 15 tahun, dan 1 persen setara pagu DAU nasional selama lima tahun.
Baca juga: Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029 - XVII: Aceh -Jakarta,Muzakir, Van Heutz, Pusat Kekuasaan
Apa yang menjadi isue besar hari ini adalah, setelah pelaksanaan desentralisasi asimetris selama 17 tahun, keadaan Aceh tidak lebih baik dari sebelumnya.
Persoalan terbesar yang seringkali dibicarakan adalah puncak gunung es masalah besar Aceh yang dtercermin dalam situasi relatif “kemiskinan berkelanjutan.”
Hal lain yang tak kalah kurang penting adalah rendahnya bahkan buruknya kualitas tata kelola pemerintahan, dominannya sektor ekonomi pemerintah, dan bahkan image daerah yang sangat tidak bersahabat dengan arus deras global dan nasional.
Yang dimaksud adalah tentang keberagaman, dan toleransi. Satu hal kini juga yang sangat mengkuatirkan adalah sikap eksklusivitas keacehan yang “dipaksakan” yang cenderung sangat kaku, bahkan konservatif tak berdasar.
Banyak negara-negara donor yang memberikan cukup banyak perhatian dan bantuan kepada Aceh pada sat konflik, tsunami, dan perdamaian, mungkin “kecewa.”
Tidak hanya negara donor, banyak lembaga multi lateral global, bahkan NGO internasional yang pernah bekerja di Aceh, baik dalam masa konflik, maupun pasca tsunami dan damai Aceh 2007 prihatin.
Mereka sangat menyesali, ketidakmampuan Aceh memanfaatkan kewenangan dan dana pembangunan yang relatif cukup besar.
Uniknya, demikian rumit dan parahnya keadaan daerah, baik para elit, sampai tingkat tertentu termasuk sebagian rakyat kecil seakan tidak tahu, tidak mau tahu tentang keadaan yang sedang berjalan.
Para elit bahkan mungkin tahu tetapi bersikap tak mau tahu bahwa Aceh kini sudah masuk kedalam sebuah keadaan terparah dalam sejarah.
Alokasi sumber daya dan kemandirian khusus untuk mengurus diri sendiri yang di dapatkan tidak hanya melenceng, tetapi semakin memperburuk keadaan.
Baca juga: Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029: Aceh - Jakarta, dan Empat “Provinsi Pemberontak” - Bagian XI
Kondisi Aceh kini bahkan dalam banyak hal termasuk ke dalam kelompok kedaruratan provinsi baru lahir di Indonesia.