Cara bersuci ini disebut dengan tayamum, dimana untuk media yang digunakan sebagai pengganti air ialah debu atau tanah.
Lantas pertanyaannya, apakah boleh bagi penggantin bertayamum dengan tujuan untuk mempertahankan make up atau riasan wajahnya?
Mengenai persoalan ini sebenarnya sudah pernah dibahas oleh Pengasuh Konsultasi Agama Islam (KAI), Tgk Alizar Usman menjawab pertanyaan dari pembaca dalam program Ruang Konsultasi Islam kerjasama antara Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh dengan Serambinews.com beberapa tahun lalu.
"Mohon penjelasan hukum tentang pengantin baru sudah di make up (rias), apakah boleh tayamum karena susah dirias ulang memakan waktu lama dan dana besar serta tidak mungkin diulang karena acara sedang berlangsung," tanya salah seorang pembaca sebagaimana dikutip dari Serambinews.com, Rabu 6 Juli 2022.
Berikut penjelasan lengkap Tgk Alizar Usman soal hukum pengantin wanita tayamum untuk mempertahankan riasan wajahnya.
Hukum dasar Tayamum
Sebelum membahas mengenai hukum ayamum bagi pengantin, Tgk Alizar menjelaskan terlebih dahulu tentang dasar hukum tayamum.
Dewan Pembina ISAD Aceh ini menjelaskan, bahwa kebolehan tayamum dalam fiqh berdasarkan firman Allah SWT dalam Alquran Surah Al Maidah berikut.
فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ
"Lalu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci, usaplah wajah dan tanganmu dengan debu itu," (Q.S. al-Maidah: 6)
Baca juga: Mau Cantik tapi Jadi Tak Sah Wudhu? Ini Penjelasan Lengkap Buya Yahya Soal Kutek, Pacar dan Henna
Pada ayat tersebut, dijelaskan bahwa kebolehan tayamum dikaitkan dengan sebab tidak ada air.
Para ahli fiqh menafsirkan tak ada air yang dimaksud dalam ayat tersebut mencakup tidak ada air dalam kenyataan (hissi) dan tidak ada air pada syara’.
"Adapun yang dimaksud tidak ada air pada syara’ adalah ada air pada hissi, namun tidak boleh digunakan pada syara’," jelas Tgk Alizar dalam Ruang Konsultasi Islam.
Lebih lanjut, alumni Dayah Al Muarrif, Lam Ateuk ini menjelaskan, berdasarkan dua jenis sebab itulah, oleh Imam al-Nawawi menjabarkannya dalam sebab-sebab atau syarat-syarat dibolehkan melakukan tayamum berdasarkan hal-hal berikut.
- Tidak ada air
- Ada air, namun diperlukan untuk minuman manusia atau hewan yang dihormati syara’
- Sakit, dimana apabila menggunakan air dikuatirkan hilang anggota tubuh atau lambat sembuh ataupun menimbulkan cacat yang memalukan pada dhahir anggota tubuh
- Sangat dingin. (Minhaj al-Talibin : 16-17).
Menurut Tgk Alizar, memperhatikan sebab-sebab kebolehan tayamum tersebut merupakan ‘uzur yang wajib diperhatikan.
Sehingga berlaku qaidah fiqh :
الواجب لا يترك الا بالواجب
"Sebuah kewajiban tidak boleh ditinggalkan kecuali dengan sebab yang wajib juga," paparnya.
Baca juga: Bersentuhan dengan Mertua, Apakah Batal Wudhu? Begini Penjelasan UAS dan Buya Yahya