Kupi Beungoh

Menyoal Moralitas Keputusan KIP Aceh

Editor: Ansari Hasyim
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dr Nurlis Effendi, dosen pada Fakultas Hukum Universitas Malahayati (Lampung), dan Megister Ilmu Hukum Universitas Abulyatama (Banda Aceh).

Oleh: Dr Nurlis Effendi*)

APA jadinya jika sebuah keputusan hukum yang lahir tanpa landasan yuridis yang kuat? Dapatlah disebutkan sebagai penyimpangan dari moralitas hukum yang berdampak pada ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. 

Contoh kasus dapat dilihat pada Keputusan KIP Aceh Nomor 26 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Keputusan Komisi Independen Pemilihan Aceh Nomor 25 Tahun 2024 tentang Jadwal dan Tahapan Pendaftaran, Penelitian Persyaratan Administrasi dan Penetapan Bakal Calon Pengganti dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh.

Keputusan KIP Aceh Nomor 26 Tahun 2024 itu pada intinya menyebutkan batas waktu pengajuan pengganti bakal calon pengganti adalah 7 hari sebelum penetapan Cagub-Cawagub tanggal 22 September 2024, yaitu pada tanggal 15 September 2024. Artinya yang dimaksud dengan 7 hari adalah hari kalender.

Berdasarkan Keputusan KIP Aceh tersebut, maka partai politik pengusung pasangan Bacalon Gubernur Bustami Hamzah, pada Jumat (13 September 2024), mendaftarkan M Fadhil Rahmi sebagai Bacalon Wakil Gubernur untuk menggantikan H Muhammad Yusuf A Wahab yang meninggal dunia pada Sabtu (7 September 2024). 

Baca juga: Pengumuman KIP Aceh Barat Terima Masukan Masyarakat Paslon Bupati dan Wakil Bupati Pilkada 2024

Jika dikaji dari kacamata hukum, maka sudah terang Keputusan KIP Nomor 26 Tahun 2024 bertentangan dengan Pasal 38 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.

Merujuk pada Qanun Aceh, tenggat waktu pengajuan pengganti calon yang sudah meninggal paling lambat 7 hari kerja sebelum penetapan dan peresmian sebagai Paslon oleh KIP.  Maka, seharusnya batas akhir pengajuan Paslon pengganti adalah tanggal 11 September 2024.

Langkah awal untuk menguji validitas Keputusan KIP Aceh Nomor 26 Tahun 2026, maka lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA). Ini adalah undang-undang yang menjadi landasan hukum di Aceh sebagai daerah otonomi khusus.

Pada Pasal 66 ayat (6) UUPA disebutkan “tata cara pelaksanaan tahapan pemilihan diatur oleh KIP dengan berpedoman pada qanun”. Norma-norma dalam pasal tersebut, memerintahkan KIP dalam membuat setiap keputusan terikat dan wajib mengikuti Qanun Aceh. 

Jadi, Keputusan KIP Aceh Nomor 26 Tahun 2024, secara tegas menyimpang dari hierarki hukum. Keputusan itu tidak hanya melanggar Qanun Aceh, juga bertentangan dengan UUPA. Karena itu, patut dipertanyakan tentang moralitas keputusan tersebut. 

Bagaimana pun setiap keputusan hukum memiliki hubungan yang mutlak dengan moral. Hubungan moralitas di sini berupa kewajiban dari Keputusan KIP Aceh untuk menghormati produk hukum berupa Qanun Aceh dan UUPA. Namun semua itu telah diabaikan.

Artinya, keputusan KIP Aceh tersebut tidak valid secara hierarki hukum dan moralitas. Seharusnya tidak dapat dijadikan pedoman dalam Pilkada Aceh. Sebab keputusan yang demikian dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.

Jika pun tetap dijalankan, maka akan berdampak pada keabsahan dari Pilkada Aceh yang berjalan rel yang menyimpang. Selain itu, segala bentuk penggunaan anggaran negara yang berlandaskan keputusan yang tidak valid juga memiliki konsekuensi hukum tersendiri. 

*) Penulis adalah dosen pada Fakultas Hukum Universitas Malahayati (Lampung), dan Magister Ilmu Hukum Universitas Abulyatama (Banda Aceh).

Berita Terkini