Sebab sebelumnya tidak ada secara eksplisit terdapat aturan tertulis, bahwa misalnya; jika Calon Wakil Gubernur tidak hadir, maka Cagubnya tetap tidak boleh menandatangani dokumen pengesahan.
Tapi, karena mungkin itu merupakan pendapat DPRA, Om Bus, maklum dan bisa menerima. Oleh karena itu Om Bus kemudian berusaha melengkapi syarat itu dengan segera mencari wakil dan setelah menetapkan pilihan pada mantan Senator Aceh Fadhil Rahmi sebagai Cawagub, akhirnya ia pun didaftarkan.
Tapi rupanya, hal itu juga tidak lancar. Karena ketika hendak dilaksanakan Rapat Paripurna pada 18 September, ternyata gagal dilaksanakan karena tidak quorum.
jadi ada tiga momentum, yang berujung pada tertundanya proses pengesahan Om Bus sebagai Cagub Aceh; Pertama pada 12 September dalam sidang peripurna dengan alasan; wakilnya tidak ada, dan kedua; pada 18 September 2024, dengan alasan; Banmus DPRA tidak quorum dan yang ketiga adalah; terbitnya Berita Acara; Penelitian Persyaratan Adminsitrasi yang menyatakan Om Bus dan Syeh Fadhil (panggilan Fadhil Rahmi) TMS pada Sabtu 21 September 2024. Notabene, hari itu adalah hari terakhir agenda pengesahan oleh Banmus, dimana seharusnya pada hari Sabtu dilakukan Sidang Paripurna.
Tentu saja, situasi tersebut menegangkan bagi kubu Om Bus. Saat itu, seakan akan-pintu sudah tertutup, harapan sudah sirna, dan Pilkada dengan Kotak Kosong sebagaimana yang didengungkan beberapa pihak, sudah didepan mata. Dan jika ini benar terjadi, demokrasi Aceh benar-benar berada di titik nadir. Makanya saya menyebut peristiwa-peristiwa di atas sebagai drama. Suatu tragedi demokrasi.
Kedua; layaknya sebuah drama, pada detik-detik yang mendebarkan di hari Sabtu, 21 September 2024, mendadak melayang sebuah surat dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat di Jakarta, sebagai induk KIP Aceh, yang seperti membalikkan lagi alur cerita menuju skenario yang seharusnya; orang film, teater dan praktisi drama menyebutnya “Plot Twist” (pembalikan alur yang memberi efek kejut).
Surat bernomor: 2148 itu intinya menyebutkan bahwa: “tidak berlaku lagi ketentuan penandatanganan Surat Pernyataan di depan Lembaga DPRA/DPRKA”. Dari lima (5) poin isi surat tersebut intinya sama seperti apa yang saya tulis di bagian awal, bahwa seharusnya yang berlaku adalah aturan terbaru berdasarkan Qanun No. 7 tahun 2024, sebagai Qanun perubahan atas Qanun No. 12 tahun 2016 (dijelaskan pada poin 1 dan 2 surat KPU).
Baca juga: Beredar Berita Acara KIP Aceh Nyatakan Bustami-Syech Fadhil Tak Penuhi Syarat Maju Pilkada 2024
Selain itu, KPU memerintahkan KIP Aceh mengubah Surat Keputusan KIP No. 17 tahun 2024 tentang Pedoman Teknis qanun tersebut, memerintahkan KIP segera berkoordinasi dengan Panwaslih.
Kesimpulannya; Om Bus dan Fadhil Rahmi; sah sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Aceh untuk bertarung di Pilkada 27 November 2024 mendatang.
Dengan surat ini, maka drama pendek “pembegalan” hukum ini pun berakhir seketika. Singkat cerita; ini pun berakhir. Yang pasti kisah melawan “kotak kosong” yang terus menerus berkembang menjadi spekulasi di berbagai forum-forum politik di Aceh kembali kembali buyar.
Semoga saja kontestasi ini tetap dalam jalur demokrasi yang elegan, berakhlak dan beradab. Bukankah, seperti bunyi UU. No 7 tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan: Pemilu adalah; “Sarana kedaulatan rakyat” yang harus dilakukan secara LUBER (langsung, umum, bebas, rahasia) dengan asas-asas; Jujur dan Adil. Marilah kita adil sejak dalam pikiran, kata Pramoedya Ananta Toer.
*) PENULIS adalah akademis
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI