Keberadaan melinjo dan usaha perajin serta pelaku UMKM yang terus menjaga kualitas dan mempromosikan kerupuk mulieng telah menjadikan makanan lagenda ini dikenal luas hingga ke mancanegara serta bernilai tinggi.
Di pasar lokal, panganan bergizi tersebut dijual dengan harga bervariasi, sesuai harga pasar dan kualitasnya.
Melihat banyaknya pelaku UMKM yang saat ini mulai merambah pasar ekspor, pihaknya terus melakukan pembinaan dan pendampingan kepada pengrajin maupun pelaku UMKM dalam meningkatkan kualitas produk seperti pelatihan pengemasan hingga digitalisasi penjualan.
Kepala Dinas Perdaganga Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (Disperdagkop UKM) Kabupaten Pidie, Cut Afrianidar, SH, MSi mengatakan, Pidie sebagai sentra penghasil biji melinjo mampu menghasilkan empat ribu ton per harinya, adapun Kecamatan Mutiara menjadi desa yang paling banyak menghasilkan melinjo diantara desa-desa lainnya.
"Kalau di Pidie ini paling banyak dari kecamatan Mutiara bisa meghasilkan empat ribu ton," katanya.
Namun lanjutnya, tantangan yang dihadapi oleh para perajin saat ini ialah ketersediaan bahan baku utamanya, yaitu biji belinjo.
Masyarakat selama ini hanya mengandalkan pohon-pohon melinjo peninggalan zaman dahulu yang usianya sudah puluhan hingga ratusan tahun, tanpa melakukan reboisasi.
Hal ini tentu sangat berdampak terhadap kegiatan produksi yang kian hari semakin meningkat.
"Sayangnya kita masih bergantung dengan pohon yang lama di masa Belanda, harapannya dengan program ketahanan pangan saat ini semakin banyaklah penaman kembali pohon melinjo," timpalnya.
Selain itu, sebagai dukungan pihak terkait, Disperdagkop UKM Kota Sigli juga sudah mendaftarkan bentuk Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dari motif mulieng seperti batik dan produk kerajinan khas.
"Sebagai dukungan, selain ada tugu, kita juga ada HAKI mengenai motif mulieng, kita sudah jadikan batik khas dan juga kerajinan-kerajinan lainnya yang ada motif mulieng," timpalnya.
Sejarah Mulieng di Pidie
Pada kesempatan berbeda, sejarawan sekaligus kolektor manuskrip kuno Aceh, Tarmidzi Abdul Hamid mengatkan, sebagai sentra daerah penghasil kerupuk mulieng, ternyata tumbuhan melinjo mulai dibudidayakan di Pidie sejak Belanda menjajah Aceh pada tahun 1939.
"Karena posisi Pidie saat itu sebagai sentra perlawanan penjajah, maka masyarakat di daerah itu lebih membudidayakan pohon melinjo," katanya.
Menurut beberapa sumber sejarah, lanjutnya, bibit melinjo tersebut dibawa dari Thailand dan Malaysia.
"Saat Belanda menjajah Aceh di Sigli, orang Belanda itu terutama ibu-ibu dan perempuan lebih membudidayakan melinjo itu sendiri. Penanaman pohon melinjo itu dari arahan Belanda juga,"
Meski di awal Sigli dijadikan tempat uji coba penanaman, namun hasil biji melinjo yang ditanam di Pidie rasanya jauh lebih enak ketika dijadikan kerupuk dibandingkan dari daerah lain, sehingga budidaya melinjo pada saat itu terus digalakkan dan tetap eksis hingga kini.
"Belanda sudah tahu camilan dari kerupuk mulieng ini sangat enak, melinjo di Pidie punya getahnya kalau dijadikan kerupuk dia enak, maka dijadikan lah lahan uji coba (di Sigli). Ternyata terus menjadi komoditi masyarakat secara tradisional diolah di Pidie sehingga menjadi populer," sambungnya.
Saat modern ini, pohon melinjo berhasil menjadi komoditi yang tidak terpisahkan dalam peradaban masyarakat Pidie dan menandakan Kota Sigli menjadi salah satu daerah penting sejak masa lalu.
Terlepas dari itu semua, kerupuk mulieng telah menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam peradaban masyarakat Pidie.
Sejumlah orang sukses dari daerah ini pernah memiliki kisah khusus bersama melinjo.
Setidaknya, sekolah mereka ikut dibiayai dari hasil panen dan kerajinan buah melinjo.
"Kita harapkan dengan warisan Belanda ini, pemerintah sekarang mohon dibuat program ke depan. Misalkan warisan tak benda dan kemudian reboisasi besar-besaran jangan menggunakan warisan masa lalu semua, karena ini (pohon melinjo) bisa punah," pungkasnya.
(Serambinews.com/Firdha Ustin)