SADRI ONDANG JAYA, S.Pd., guru, Koordinatior FAMe Chapter Aceh Singkil, dan pemerhati dinamika sosial budaya, melaporkan dari Kota Banda Aceh
Waktu mengalir begitu cepat, seperti gelombang yang menggulung kenangan dalam diam. Tanpa terasa, puluhan tahun telah berlalu sejak terakhir kali saya melangkahkan kaki ke Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainoel Abidin (RSUDZA, selanjutnya disingkat RSUZA), Banda Aceh.
Dulu, ketika masih bermukim di Banda Aceh, RSUZA hanyalah sepelemparan batu dari rumah tempat saya tinggal. Hampir setiap hari saya melewati gerbangnya, menyaksikan denyut kehidupan yang tak pernah surut di dalamnya.
Rumah sakit yang berdiri sejak 22 Februari 1979 ini adalah panggung bagi kisah-kisah manusia. Harapan dan kesedihan berjalan beriringan.
Ada yang datang dengan penuh asa, menggantungkan impian akan kesembuhan. Ada yang pulang dengan senyum syukur setelah melewati badai sakit.
Namun, tak sedikit pula yang pergi dengan isak tangis dan deraian air mata, meninggalkan ruang perawatan dengan duka dalam yang tak terkatakan.
Megahnya RSUZA kini
Beberapa hari lalu, saya kembali menjejakkan kaki di RSUZA. Begitu memasuki pelatarannya, saya tertegun. Wow! Rumah sakit ini telah bertransformasi luar biasa megah.
Gedung-gedungnya menjulang gagah, menyiratkan wibawa dan keteraturan. Fasilitasnya kian lengkap, tertata dengan estetika yang menawan.
Area parkir luas, pepohonan rindang menaungi halaman, dan taman-taman yang tertata apik menghadirkan kesejukan di tengah riuhnya kesibukan medis.
Lebih menarik lagi, di sepanjang lorong rumah sakit, kaligrafi Asmaul Husna tertempel indah. Doa-doa tertulis dalam aksara yang menenangkan, mencerminkan identitas Aceh sebagai negeri syariat.
Suasana religius menyatu dengan modernitas bangunan, mengingatkan bahwa di balik upaya manusia, ada kuasa Allah yang menentukan segalanya.
Wajah-wajah di ruang tunggu
Sebagaimana pasien dan keluarga pendamping pasien lainnya, saya duduk di ruang tunggu yang luas. Kursi-kursi berderet rapi, dipenuhi wajah-wajah lelah yang menanti giliran dengan kesabaran tak berbatas.
Tak jauh dari saya, seorang ibu menggenggam tangan anaknya yang terbaring lemah di pangkuannya. Di sudut lain, seorang pria tua bersandar pada tongkat, menatap kosong ke lantai keramik. Seorang pasien di kursi roda menanti dengan tatapan penuh harap pada layar antrean yang bergulir perlahan.