Jurnalisme Warga

Merasakan Denyut Kehidupan di RSUZA, Jantungnya Aceh

Editor: mufti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

SADRI ONDANG JAYA, S.Pd., guru, Koordinatior FAMe Chapter Aceh Singkil, dan pemerhati dinamika sosial budaya, melaporkan dari Kota Banda Aceh

Di wajah-wajah itu, saya melihat cerminan kerapuhan manusia. Cepat atau lambat, suka atau tidak, setiap orang akan bergumul dengan rumah sakit. Menyerahkan diri pada ilmu kedokteran, bertaruh dengan harapan, dan menanti takdir.

Satu hal yang pasti: jika ingin menghindari persinggahan panjang di rumah sakit, kita harus menjaga kesehatan, memperbaiki gaya hidup, serta mendekatkan diri kepada Allah. Kalaupun sakit tak terelakkan, anggaplah sebagai ujian dan ladang penghapus dosa.

Munajat di tengah kesibukan

Di tengah kemegahan dan hiruk pikuk pelayanan medis, RSUZA memiliki sebuah masjid mungil nan indah: Masjid Ibnu Sina.

Setiap waktu shalat, masjid ini tak pernah sepi. Pasien, keluarga, tenaga medis, hingga pengunjung lainnya datang menunaikan shalat dan bermunajat.

Masjid ini menjadi saksi bisu, tempat orang-orang berserah diri setelah menerima kabar baik maupun buruk dan menjalani hidup baik suka maupun duka.

Sambil rehat di dalam masjid, saya teringat pada sosok petugas kebersihan tua berwajah tirus yang juga muazin sekaligus sering "didaulat" menjadi imam di masjid lama RSUZA  dengan nama yang sama pada era '80-'90-an. Sebelum shalat, ia selalu mengingatkan jemaah, "Luruskan saf, ratakan tumit dengan garis cokelat!" Garis itu adalah pengatur saf, pengingat keteraturan dalam ibadah.

Setelah sgalat, ia sering menyampaikan kultum, menenangkan hati  jemaah yang datang dengan berbagai kegelisahan.

"Di masjid ini, manusia menyadari bahwa kesehatan adalah anugerah dan waktu adalah pinjaman yang tak bisa ditebus kembali," begitu sekelumit tausiahnya yang masih saya ingat.

Zainoel Abidin, nama penuh makna

Bagi generasi muda, mungkin timbul pertanyaan: Siapakah Zainoel Abidin? Mengapa rumah sakit ini menabalkan namanya?

Zainoel Abidin bukan sekadar seorang dokter. Ia adalah pelopor, pejuang, dan sosok yang membangun fondasi pelayanan kesehatan di Aceh.

Dengan ketekunan dan kepedulian, ia memastikan bahwa setiap orang, tanpa memandang latar belakang, berhak mendapatkan perawatan medis yang layak dan setara.

Ia adalah putra Mahmud Ibrahim,  pengrajin emas ternama di Aceh, pencipta desain khas Pinto Aceh. Motif yang kini menjadi ikon budaya Aceh.

Jika sang ayah mengukir emas menjadi perhiasan abadi, dr Zainoel Abidin mengukir baktinya dalam sejarah yang tak lekang oleh waktu, tak pudar oleh masa.

Halaman
123

Berita Terkini