Eufemisme dalam politik
Eufemisme adalah salah satu strategi yang paling sering digunakan dalam politik untuk
menyembunyikan realitas yang sebenarnya lebih keras atau menyamarkan kenyataan pahit.
Van Dijk menekankan bahwa pemilihan istilah dalam kebijakan publik sering kali dilakukan dengan tujuan membentuk persepsi positif di kalangan masyarakat.
Pemberitaan tentang Undang-Undang Cipta Kerja misalnya, memunculkan berbagai istilah untuk mengubah cara publik memahami kebijakan, seperti “penyederhanaan regulasi", seolah-olah menguntungkan, padahal kenyataanya penghapusan aturan yang melindungi hak-hak pekerja.
"Fleksibilitas kerja", terdengar modern dan dinamis, kenyataannya merujuk pada sistem kerja
kontrak (alih daya) yang membuat pekerja tidak memiliki kepastian kerja. Selain itu, eufemisme juga digunakan dalam berbagai aspek lain, seperti pemotongan subsidi pendidikan yang disebut sebagai "efisiensi anggaran”.
Secara umum, efisiensi berarti penggunaan sumber daya secara optimal untuk mencapai hasil yang maksimal dengan pemborosan seminimal mungkin.
Jika pemerintah menggunakan istilah "efisiensi anggaran" untuk menutupi pemotongan anggaran yang merugikan masyarakat, ini sudah menyalahi makna asli dari efisiensi itu sendiri.
Dalam konteks anggaran negara, efisiensi idealnya berarti mengalokasikan dana dengan cara yang paling efektif untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Namun, dalam praktiknya, istilah "efisiensi anggaran", seperti saat ini ramai diperbincangkan, sering kali digunakan oleh pemerintah bukan dalam arti sebenarnya, tetapi sebagai eufemisme untuk pemotongan anggaran, pengurangan subsidi, atau penghapusan program sosial.
Jika benar-benar efisien, seharusnya anggaran tetap dapat mencukupi kebutuhan publik. dengan menghilangkan pemborosan, korupsi, atau alokasi yang tidak tepat sasaran. Namun, yang sering terjadi justru anggaran dipangkas tanpa mempertimbangkan dampak sosialnya, sehingga masyarakat terutama kelompok rentan, kehilangan hak atau akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
Lebih jauh, penggunaan istilah ini juga dapat dianggap sebagai manipulasi wacana atau
justifikasi politik melalui wacana. Kebijakan yang sejatinya bermasalah, tetapi dapat diterima
oleh masyarakat karena pemilihan istilah yang lebih halus.
Dampak sosial eufemisme politik
Penggunaan eufemisme dalam kebijakan publik memiliki dampak yang luas bagi masyarakat, di
antaranya:
1. Masyarakat kehilangan kesadaran terhadap dampak kebijakan.
Jika istilah yang digunakan terdengar positif, maka masyarakat lebih cenderung menerima
kebijakan tersebut tanpa mempertanyakan konsekuensinya.
Misalnya, banyak pekerja pada awalnya tidak menyadari bahwa Undang-Undang Cipta Kerja
mengurangi hak mereka karena istilah yang digunakan dalam sosialisasi terdengar
menguntungkan.