Oleh: Siti Arifa Diana, S.Sos, MA
Mari kita bicara apa adanya: hari ini, panggung budaya bukan lagi terletak di gedung kesenian atau buku pelajaran, melainkan di linimasa TikTok. Dari timur ke barat, nada-nada seperti “pica-picaaa” dari Ambon hingga “Oh dek Tia Monikaaaa” dari Aceh lebih cepat menembus kesadaran kolektif daripada syair lagu daerah, kutipan tokoh nasional atau karya-karya Chairil Anwar.
Lirik lagu jenaka tersebut menjalar tanpa hambatan geografis, disusul “stecu-stecu” yang sukses menjadi semacam anthem nasional dadakan dinyanyikan dengan semangat yang sama oleh pelajar, anak kuliah semester akhir, ibu rumah tangga, hingga bapak-bapak yang tengah menyiram tanaman atau ngopi di warkop sambil makan timphan dan melirik notifikasi grup whatsapp keluarga
Musik-musik ini bukan sekadar hiburan. Ia lahir dari akar budaya lokal, lalu dibalut remix DJ, sentuhan koplo, dan efek dangdut modern. Budaya tak lagi menunggu panggung megah atau seremoni adat. Kini, cukup masuk FYP TikTok dan lahirlah “budaya baru” yang luwes, lucu, dan akrab di telinga siapa saja. Lucunya, lagu-lagu ini seperti mantra: sekali terdengar, langsung terngiang dikepala untuk diulang-ulang.
Dan seperti halnya mantra, kekuatan viral ini membentuk sebuah komunitas baru. Sebuah “desa digital” tempat orang-orang dari berbagai latar belakang bisa bersatu dalam satu irama.
Musik ini menembus sekat-sekat sosial dan geografis menjadi jembatan lintas usia, status, bahkan bahasa. Lagu berbahasa daerah seperti “Pica-Pica” pun bisa dinyanyikan oleh anak-anak Jakarta tanpa tahu arti kata aslinya, tapi mereka tetap tertawa, bergoyang, dan menyatu dalam keriangan yang sama.
Budaya Lokal di Tengah Gelombang Global
Fenomena ini secara sosiologis mencerminkan konsep glokalisasi pertemuan antara budaya global dan kearifan lokal. Lagu-lagu yang sebelumnya hanya muncul dalam acara adat, kini hidup kembali dalam format yang jauh lebih dinamis. Anak muda tak sekadar menjadi konsumen budaya luar, mereka justru menciptakan ulang jati diri dengan cara yang relevan dan segar.
Glokalisasi ini menunjukkan bahwa budaya daerah tidak mati, tapi mengalami penyesuaian bentuk. Sama seperti wayang kulit yang kini bisa dinikmati dalam animasi YouTube atau tari daerah yang diolah jadi konten dance challenge. Lagu “Tia Monika” atau “Stecu-Stecu” memperlihatkan bahwa anak muda Aceh, Padang, Maluku, atau NTT bisa tampil global dengan tetap membawa warna lokal mereka.
Lebih jauh, ini juga mengindikasikan sebuah perubahan paradigma dalam pewarisan budaya. Dulu, kita belajar budaya lewat guru atau tetua adat. Sekarang, kita bisa belajar budaya dari TikTokers yang iseng rekam video di depan rumah.
Tapi pertanyaannya, apakah nilai esensial kultur ikut terbawa?atau hanya sekedar musik suara tanpa ruhnya.
Karena jika budaya hanya hadir sebagai latar musik lucu-lucuan tanpa makna, maka kita hanya mewarisi bentuk, tanpa isi. Inilah tantangan kita hari ini: bagaimana menghadirkan kearifan lokal dalam bentuk baru tanpa kehilangan kedalaman nilai yang menyertainya.
Lirik , Humor Lokal, dan Tafsir Bebas
Lagu-lagu viral semacam ini tak jarang memuat lirik yang menggelitik, kadang lucu, kadang ambigu, bahkan terkesan “nakal”. Namun jika ditilik lebih dalam, gaya tutur tersebut mencerminkan cara masyarakat mengekspresikan perasaan dan relasi sosial melalui bahasa.
Dalam lirik “Dek Tia Monika”misalnya, menarik perhatian karena menggabungkan bahasa Aceh dengan bahasa Indonesia secara natural dan cair.