Kupi Beungoh

Kopiah Meukeutop Aceh, Berasal dari Pidie, Dipopulerkan Teuku Umar, Sekarang Banyak Salah Motif

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kolase foto Tarmizi A Hamid, budayawan dan pendiri Rumoh Manuskrip Aceh dengan latar belakang perajin kupiah meukeutop di Tungkop, Kabupaten Pidie.

Oleh Tarmizi A Hamid*)

Video berjudul “Kupiah Meukeutop Pabrikan Ternyata Salah Motif” yang dirilis channel Youtube Serambinews.com, 4 Juni 2025, menarik perhatian saya.

Jika hanya membaca judul, sekilas video itu cuma berisi penjelasan tentang kesalahan motif pada kupiah meukeutop, kopiah khas Aceh yang beberapa tahun banyak diproduksi oleh pabrikan di pulau Jawa.

Tapi jika menonton secara lengkap, ternyata video itu tak hanya tentang kesalahan motif kupiah meuketop pabrikan saja, tapi juga membuka wawasan generasi muda Aceh, tentang sejarah dan filosofi dari kupiah meukeutop. 

Dalam video tersebut, Direktur Pedir Museum, Masykur Syafruddin, mengulas secara detil beberapa hal terkait kupiah meukeutop.

Masykur, anak muda asal Lueng Putu, Pidie Jaya ini, memberikan penjelasan dengan merujuk kepada dua jenis kopiah khas Aceh yang masing-masingnya sudah berusia seratus tahun lebih.

Setelah menonton video tersebut, penulis merasa perlu untuk mengulasnya dalam sebuah artikel, dengan tujuan dan harapan dapat menambah literasi bagi generasi Aceh, untuk lebih mengenal adat dan budaya, serta barang peninggalan indatu.

Sebab, peci atau kopiah khas Aceh yang dikenal dengan nama Kupiah Meukeutop ini menjadi salah satu cenderamata paling diminati oleh para tamu yang berkunjung ke Aceh.

Kupiah meukeutop ini sangat populer sebagai cenderamata karena keunikan desainnya yang membedakannya dari peci biasa. 

Desainnya yang khas merepresentasikan budaya Aceh yang sarat dengan nilai-nilai Islam.

Kopiah ini menemukam momentum dan menjadi sangat populer pada awal tahun 2020.

Tokoh-tokoh nasional, seperti Sandiaga Uno, Ustaz Abdul Somad, dan Ganjar Pranowo yang kala itu menjabat sebagai gubernur Jawa Tengah, ikut mempromosikan kupiah meukeutop. 

Pabrikan di Pulau Jawa menangkap momentum ini dengan memproduksi dalam skala besar, sehingga harganya menjadi terjangkau oleh masyarakat biasa.

Jika kupiah meukeutop asli yang diproduksi oleh perajin di Pidie, harganya mencapai Rp 200-300 ribu per buah, maka kupiah meukeutop pabrikan ini dijual dengan harga sekira Rp 25-50 ribu per buah.

Tapi ternyata ada filosofi yang melenceng pada kupiah meukeutop pabrikan, terutama pada model, desain, dan motifnya.

Maka, dalam rangka memberikan literasi kepada generasi Aceh, penulis merasa perlu mengulas sedikit tentang sejarah dan makna yang terkandung pada kupiah khas Aceh yang dipopulerkan oleh Pahlawan Nasional Teuku Umar ini.

Baca juga: Kenakan Kupiah Meukeutop Anggota Panwaslih Aceh Utara Dilantik Bawaslu RI di Jakarta

Serupa Tapi Tak Sama 

Pertama sekali yang perlu diketahui adalah, ada dua jenis peci khas Aceh yang memiliki motif hampir serupa, dengan teknik pengerjaan yang sama.

Kedua jenis kopiah ini sama-sama dirajut dengan bahan kain songket berwarna merah, kuning, hitam, dan hijau.

Sekilas motif kedua kopiah ini terlihat sama, hanya beda bentuknya saja. 

Tapi jangan salah, meski serupa, kedua kopiah ini memiliki makna dan filosofi yang berbeda, berdasarkan bentuknya.

Pada masa lalu, bentuk kopiah menujukkan kepada posisi atau jabatan dari orang yang mengenakannya. 

Apakah dia umara (pejabat) atau ulama, bisa langsung diketahui dari bentuk kopiah yang dikenakan oleh seseorang di muka publik. 

Agar lebih jelasnya, penulis akan menguraikan kedua jenis kopiah yang serupa tapi tak sama ini:

1.⁠ ⁠Kupiah Tungkop (Kupiah Meukeutop)

Jenis kopiah inilah yang belakangan sangat populer di Aceh, serta menjadi cenderamata favorit, juga kerap dipakai oleh tokoh-tokoh nasional.

Hanya saja, bentuk kupiah tungkop atau kupiah meukeutop hasil pabrikan yang banyak beredar saat ini, berbeda dengan aslinya. 

Aslinya, kupiah meukeutop ini memiliki bentuk yang tinggi, dengan motif anak tangga. 

Pada masa lalu, kopiah ini dikenakan oleh umara atau pejabat dan bangsawan.

Seorang sultan atau raja, kopiah ini dilengkapi dengan kain yang dililitkan melingkat di bagian bawah dan menjuntai ke atas di bagian belakang.

Di bagian atas, diberikan mahkota yang terbuat dari emas, perak atau pun bahan lainnya. 

Saat ini, kopiah seperti ini dikenakan oleh pengantin pria pada acara resepsi penikahan adat Aceh. 

Namun belakangan, pabrikan memproduksi kopiah dengan motif anak tangga ini dalam bentuk yang ceper atau rendah, tidak lagi tinggi seperti aslinya. 

Padahal, pada masa lalu, jenis kopiah dengan motif yang hampir serupa dikenakan oleh para ulama.

2.⁠ ⁠Kupiah Syam 

Jenis kopiah kedua yang memiliki warna dan desain hampir serupa dengan kupiah meukeutop adalah kupiah syam.

Disebut kopiah syam, karena jenis kopiah seperti ini juga dipakai oleh orang-orang di negara-negara yang dulu disebut sebagai Syam, seperti Yaman, Damaskus, termasuk Mali di Afrika, menggunakan kopiah yang sangat mirip dengan yang digunakan para ulama di Aceh, ratusan tahun lalu. 

Direktur Pedir Museum, Masykur Syafruddin memperlihat dua jenis kopiah khas Aceh yang sudah berusia seratus tahun lebih, pada acara Pameran Kebudayaan dalam rangka Meuseuraya Akbar, di Sigli, Kabupaten Pidie, 29 Mei 2025. Kopiah jenis tinggi disebut kupiah meukeutop atau kupiah tungkop, sementara yang bentuknya rendah adalah kupiah syam. (SERAMBINEWS.COM/ZAINAL ARIFIN)

Kopiah ini memiliki motif kunci membentuk huruf hijaiyah yang mengelilingi kopiah. 

Jenis kopiah seperti ini, dipakai oleh cendikiawan atau ulama pada masa lalu. 

Nah, bentuk kopiah seperti inilah yang diproduksi oleh pabrikan dan beredar luas saat ini, tapi menggunakan motif anak tangga yang harusnya ada di kopiah meukeutop.

Filosofi Kupiah Meukeutop

Ida Fitri Handayani, Guru SMA 4 Banda Aceh dan Anggota FAMe Chapter Pidie, pernah menuliskan tentang filosofi kupiah meukeutop ini dalam sebuah artikel yang dipublikasikan di rubrik Jurnalisme Warga Serambi Indonesia, edisi Jumat, 14 Agustus 2020.

Di pinggiran bawah kupiah, terdapat motif anyaman dikombinasikan warna hitam, hijau, merah dan kuning. 

Anyaman serupa terdapat di bagian tengah, yang dibatasi lingkaran kain hijau di atasnya dan kain hitam di bawah.

Pada lingkaran kepala bagian bawah, terdapat motif yang lebih dominan, berbentuk huruf hijaiyah, yaitu lam. 

Namun, ada garis yang menyambung antara bagian bawah dan atas motif tersebut. 

Motif yang sama juga terdapat di lingkaran kepala bagian atas, hanya saja ukurannya lebih kecil. 

Di bagian paling atas, terdapat rajutan benang putih sebagai alas mahkota kuning emas, bertingkat tiga.

Huruf lam yang terbentuk dari kupiah meukeutop karena adanya empat tingkatan warna yang juga memiliki makna dan filosofi tersendiri. 

Tingkatan pertama bermakna hukum agama, tingkatan kedua bermakna adat, tingkatan ketiga bermakna qanun, sedangkan tingkatan keempat bermakna reusam. 

Dengan demikian, melihat kupiah meukeutop sama halnya dengan melihat rambu-rambu kehidupan yang dimiliki oleh masyarakat Aceh yang berlandaskan pada: agama, adat, qanun, dan reusam.

Kupiah meukeutop terbuat dari kain berwarna dasar merah, kuning, hijau, putih, dan hitam. 

Warna yang dipakai memiliki makna tersendiri. 

Merah melambangkan kepahlawanan, kuning melambangkan negara atau kerajaan, hijau melambangkan keagamaan, putih memiliki makna keikhlasan atau kesucian, dan hitam bermakna ketegasan hati. 

Sejarah Kupiah Meukeutop

Pada dasarnya masyarakat masih ada yang belum mengetahui asal-muasal kupiah khas Aceh yang satu ini. 

Secara historis, kupiah meukeutop lebih dikenal dengan topi kebesaran yang dipakai Teuku Umar (1854-1899), pahlawan nasional dari Aceh. 

Tidak ada sumber sejarah pasti yang menjelaskan kapan atau siapa pertama kali yang memakai kupiah ini.

Karena sejumlah tokoh Aceh lainnya juga memakainya, semisal Sultan Muhammad Daud Syah (1864-1939) dan Panglima Polem (meninggal 1940) juga banyak diabadikan memakai kupiah meukeutop.

Para bangsawan yang kupiah meukeutop juga kerap terlihat dalam foto-foto yang diabadikan oleh para fotografer Belanda pada masa kolonialisme.

Berdasarkan penelusuran penulis, kupiah meukeutop dulunya masyhur dengan nama kupiah tungkop--ada juga yang menyebutnya kupiah garot.

Tungkop dan Garot adalah permukiman penduduk di kawasan pedalaman Pidie, yang kini masuk dalam wilayah Kecamatan Indrajaya.

Cerita yang berkembang di kalangan warga Tungkop dan Garot, kopiah jenis ini awalnya dibikin oleh Nek Sapiah, di Gampong Rawa Tungkop, Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie.

Hingga saat ini, masyarakat Tungkop dan Garot, terutama Garot Cut dan Lampeuteut, yang bersebelahan dengan Kemukiman Tungkop, masih konsisten mempertahankan tradisi memproduksi kopiah ini.

Maka tidak mengherankan jika beberapa toko souvenir di Banda Aceh yang menjual berbagai jenis oleh-oleh khas Aceh, termasuk kopiah meukeutop ini, merupakan warga asal Tungkop, Garot Cut, atau Lampeuteut. 

Dalam perjalanannya, kupiah tungkop lebih sering disebut dengan nama kupiah meukeutop, dan sangat identik dengan Teuku Umar. 

Boleh jadi, Teuku Umar lah yang mempopulerkan kopiah meukeutop ini.

Bahkan, di Meulaboh terdapat sebuah tugu berbentuk kupiah meukeutop yang dibangun di lokasi tertembaknya Teuku Umar Johan Pahlawan dalam perang melawan Belanda, Februari 1899.

Mungkin karena itu, banyak pihak beranggapan bahwa kupiah meukeutop ini adalah kerajinan khas Aceh Barat. 

Baca juga: Tugu Kupiah Meukeutop Teuku Umar, Monumen Sejarah yang Memikat di Pesisir Aceh

Harapan Penulis

Namun, penulis tidak mempersoalkan dari mana asal muasal kopiah yang menjadi kebanggaan Aceh ini.

Penulis juga tidak berupaya menjelekkan kupiah meukeutop made in mesin.

Hanya saja, andai kupiah pabrikan itu dibuat oleh produsen di Aceh, tentu perputaran ekonomi tetap terjadi di daerah.

Tapi yang terjadi saat ini, kupiah-kupiah meukeutop pabrikan itu dibuat di luar Aceh, dikirim kepada penjual di Aceh, dan kemudian menjadi oleh-oleh khas Aceh.

Persis seperti barang Bandung atau produk China yang dibeli oleh orang Indonesia sebagai oleh-oleh dari Tanah Suci.

Maka, sudah seharunya pemerintah Aceh mendukung pengrajin, membekali mereka dengan modal kerja dan ilmu maketing.

Kita tak perlu menyalahkan siapa-siapa. 

Kita bisa saja bilang bahwa kupiah mekeutop pabrikan itu adalah produk tiruan atau KW.

Tapi satu fakta yang tak boleh dinafikan, kupiah meukeutop ini terkenal ke seantero Indonesia karena adanya pabrikan di Pulau Jawa yang memproduksi dalam jumlah besar. 

Itu memang sudah sering terjadi di pasar global. 

Bahkan, merek-merek terkenal dunia semisal Adidas, Nike, Bally, Louis Vuitton, juga banyak yang kw, tapi dibiarkan, karena terkadang dengan lahirnya versi kw mereka tidak perlu bekerja keras lagi untuk menaikkan branding. 

Hanya kita perlu mengedukasi pasar bahwa ada yang asli, harganya tinggi tapi sesuai dengan kualitasnya.

Ibarat kata makan masakan ibu jauh lebih nikmat, maka membeli produksi asli juga jauh lebih hangat, soalnya dibuat oleh ibu-ibu dengan tangan yang penuh kasih sayang.

Dan hingga sejauh ini, kupiah meukeutop asli produk ibu-ibu di Tungkop dan Garot, memang belum tertandingi oleh pabrikan manapun.

Satu lagi harapan penulis, semoga tulisan ini semakin menambah literasi bagi generasi, untuk lebih mengenal dan mencintai buah karya warisan indatu.

Kutaraja, 5 Juni 2025

 

*) PENULIS, Tarmizi A Hamid adalah pemerhati sejarah dan budaya Aceh dan Pendiri Rumoh Manuskrip Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

Berita Terkini