Terlebih lagi, Gubernur Aceh saat ini adalah mantan Panglima GAM, figur yang memegang legitimasi politik dan moral dalam sejarah perlawanan rakyat Aceh. Jika negara terus melanjutkan tindakan hegemoniknya tanpa koreksi, maka tidak tertutup kemungkinan terjadi proses radikalisasi simbolik: bahwa Aceh tidak lagi dilihat sebagai bagian dari bangsa yang setara, melainkan sebagai objek kuasa pusat yang hanya dihargai saat dibutuhkan.
Dalam kondisi seperti ini, narasi lama seperti self-determination, referendum, atau bahkan wacana kedaulatan kembali menemukan ruang untuk tumbuh, bukan karena diajarkan, tetapi karena dipancing oleh ketidakadilan struktural.
Baca juga: Polemik 4 Pulau Aceh, Presma USK: MoU Helsinki telah Dikhianati, kami Siap Pasang Badan!
Baca juga: Balas Serangan Israel, Iran Tembakkan Rentetan Rudal ke Tel Aviv, True Promise III Dimulai
Sejarah telah menunjukkan bahwa ketidakadilan teritorial seringkali menjadi pemantik utama konflik etnopolitik di banyak wilayah dunia, terutama di negara-negara pascakolonial seperti Indonesia.
Lebih jauh, pendekatan negara yang terlalu legalistik dan teknokratik, sebagaimana dikritik James C. Scott dalam Seeing Like a State (1998), justru membutakan negara terhadap “ilmu lokal” masyarakat yang hidup dan berinteraksi langsung dengan wilayah-wilayah sengketa.
Negara melihat peta, bukan rakyat. Negara menetapkan koordinat, bukan sejarah. Maka, yang terjadi bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi penghapusan simbolik terhadap eksistensi Aceh sebagai entitas berdaulat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menghormati keistimewaan daerah.
Jika kebijakan ini dibiarkan, maka potensi konflik terbuka bukanlah hal yang mustahil. Gelombang ketidakpercayaan terhadap negara dapat menguat, terutama di kalangan generasi muda Aceh yang melihat bahwa janji damai dan otonomi tidak dijaga oleh negara.
Maka potensi munculnya gelombang perlawanan simbolik dan bahkan mobilisasi politis dengan narasi “pengingkaran terhadap MoU Helsinki” menjadi semakin terbuka. Bahkan, bukan tidak mungkin narasi-narasi separatisme yang selama ini telah diredam dengan damai dan pembangunan akan kembali mendapatkan momentumnya.
Ketidakadilan yang terstruktur, jika dibiarkan, adalah pintu masuk menuju disintegrasi simbolik, yaitu ketika rakyat tidak lagi mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari negara karena merasa terbuang dan diabaikan.
Ini bukan ancaman, ini prediksi sosiologis. Ketika negara dianggap mengkhianati perjanjian damai, maka masyarakat akan mencari alternatif legitimasi baru. Dan jika itu terjadi, maka seluruh konstruksi perdamaian yang dibangun selama dua dekade terakhir bisa runtuh dalam waktu yang sangat cepat.
Gramsci memperingatkan bahwa krisis hegemoni terjadi ketika kelas yang dominan tidak lagi mampu merepresentasikan kepentingan kolektif. Dalam konteks Indonesia, negara sebagai pengelola konsensus nasional justru sedang mempersempit makna “kolektif” menjadi semata kehendak pusat.
Baca juga: Iran Gempur Israel, Puluhan Orang Terluka, IDF Minta Warga Tak Publikasikan Dampak Kerusakan
Baca juga: Mualem Tegaskan Tak Ada Ruang Negosiasi dengan Sumut Soal 4 Pulau di Singkil
Jika konsensus sosial dan politik yang dibangun lewat damai Helsinki tidak dihormati, maka jangan salahkan siapa pun jika yang muncul nanti adalah kontrak sosial baru yang tidak lagi memerlukan Jakarta sebagai pusatnya.
Solusi atas polemik ini tidak terletak pada legalisme birokratis yang kering dari empati, melainkan rekonsiliasi politik. Apa yang dibutuhkan bukanlah gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau uji peta di atas meja teknokratik, melainkan langkah rekonsiliasi politik yang sejati.
Negara harus mengakui bahwa ada yang lebih penting dari garis batas administratif: yaitu kepercayaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai simbolik yang telah dibangun melalui konsensus damai.
Negara harus membuka forum dialog resmi dengan Pemerintah Aceh, menghadirkan perwakilan masyarakat adat dan akademisi lokal, serta meninjau ulang kebijakan secara partisipatif. Negara harus belajar mendengar kembali sebelum keheningan berubah menjadi perlawanan.
Empat pulau mungkin kecil dalam ukuran geografis, tetapi nilainya tidak dapat diukur dengan satuan kilometer persegi. Ia adalah simbol harga diri, simbol konsensus damai, dan simbol eksistensi Aceh di tengah republik yang katanya menjunjung keadilan.