Kupi Beungoh

Prabowo - Mualem: Sabang, Sumitronomics, dan Agenda yang Belum Selesai – Bagian 4

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Sebagai anak biologis dan ideologis dari Sumitro Djojohadikusumo--arsitek awal freeport Sabang--dan sebagai Presiden, Prabowo bisa menghidupkan kembali semangat Sumitronomics. 

Yang dimaksud adalah pendekatan pembangunan yang berbasis pada  strategi “big push” dengan melihat kawasan sebagai pusat pertumbuhan baru, bukan sekadar pinggiran administratif.

Ketika Sumitro Djojohadikusumo membayangkan Sabang sebagai pelabuhan bebas di barat Indonesia, ia sesungguhnya menerjemahkan semangat besar dari teori pembangunan yang dikenal sebagai “big push” yang diperkenalkan oleh ekonom kelahiran Austria Rosenstein-Rodan pada awal tahun limapuluhan yang digunakan negara-negara barat dałam membantu pebangunan negara berkembang setelah Perang Dunia ke II.

Dalam pandangannya, pertumbuhan tidak akan lahir dari langkah kecil yang tersebar, melainkan dari dorongan besar yang terkoordinasi, melibatkan negara sebagai motor utama, dan menargetkan simpul strategis ekonomi untuk membangkitkan kawasan secara keseluruhan. 

Sabang bagi Sumitro pada waktu itu bukan sekadar pulau pelabuhan, melainkan proyek harapan--tempat di mana investasi, infrastruktur, dan kebijakan disatukan untuk menciptakan daya ungkit ekonomi yang bisa menjalar hingga ke pedalaman Aceh. 

Meskipun kemudian terganggu oleh gejolak politik dan konflik pusat-daerah, gagasan Sumitro tetap mencerminkan keyakinan seorang teknokrat bahwa dengan intervensi besar dan perencanaan matang, sebuah wilayah dapat dilahirkan kembali sebagai kutub pertumbuhan.

Sumitro percaya bahwa geografi bukan nasib, tetapi peluang. 

Dan dalam konteks Sabang, peluang itu lebih terang dari sebelumnya. 

Pemerintah harus segera menyusun ulang roadmap Sabang dengan dua prioritas- shorebase migas dan outerport strategis. 

Pelabuhan Sabang tidak perlu menyaingi Singapura secara langsung, tetapi harus menempati ceruk strategisnya sendiri--sebagai pelabuhan transshipment kelas dunia dan pusat logistik energi yang melayani sektor lepas pantai Aceh.

Kini saatnya menjadikan sejarah bukan sekadar kenangan, tapi energi yang menggerakkan. 

Sabang bisa menjadi warisan hidup dari visi Sumitro, dan pada saat yang sama, menjadi simbol pertemuan antara gagasan dan kepemimpinan. 

Ketika Sabang dibangun kembali dengan arah yang jelas, bukan hanya Aceh yang akan tumbuh, tapi seluruh wajah Indonesia bagian barat akan menemukan denyut barunya, lebih tangguh, lebih berdaulat, dan lebih terhubung dengan dunia.(bersambung)

 

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI

Berita Terkini